Part 19

722 40 2
                                    

Hari ini dihabiskan Maura dengan tidur. Setelah dia pulang dari dinas malamnya di rumah sakit jam tujuh pagi tadi, begitu sampai di apartemen, Maura langsung tertidur dan baru tengah hari dia bangun. Seperti biasanya, bangun dari tidurnya, Maura langsung menuju dapur dan mengambil air minum dingin. Dian hanya bisa menggelengkan kepalanya.

"Hari ini libur kan?" Tanya Dian saat Maura duduk, mengambil apel dan langsung memakannya tanpa mengupas dulu. Sebagai ibu dan orang tua satu-satunya, Dian tentu sudah hapal ritme kerja Maura. Dian juga membiarkan saja Maura yang baru kembali bangun di siang tengah hari seperti hari ini.

"Harusnya libur sih bun. Cuman karena pelatihannya sinyo belum selesai, akhirnya hari ini statusnya stand by on call."

"Tapi masih di rumah aja kan? Gak ke rumah sakit?" Pertanyaan lanjutan dari Dian hanya dijawab dengan anggukan dari Maura.

"Tapi gak bisa kemana-mana bun. Nanti kalau tiba-tiba rumah sakit nelpon, ya harus berangkat. Mudah-mudahan aja gak ada yang kecelakaan atau polisi gak nemu korban kejahatan yang harus autopsi."

Jadilah hari ini Maura berencana menghabiskan harinya di apartemennya saja. Membaca beberapa jurnal penelitian kedokteran forensik atau menghabiskan series drama korea yang kemarin baru saja dia download dari internet sudah ada dalam list kegiatannya hari ini. Maura bahkan sudah menyiapkan beberapa camilan dan minuman soda untuk menemaninya sepanjang hari ini.

Niat awal memang Maura mau membaca beberapa jurnal penelitian terbaru. Tapi nampaknya pikiran dan apa yang dia lakukan tidak berjalan bersama. Pikirannya terus saja tertuju pada perkataan Farhan beberapa waktu lalu. Bohong sebenarnya kalau dia tidak mulai tertarik dengan Farhan. Semua perlakuan yang ditunjukkan oleh Fajar, dan juga bagaimana keluarga besarnya bisa menerima, memberikan satu kenangan pada Maura.

"Kamu itu lagi baca apa? Kok cuman dibolak balik aja?" Tanya Dian setelah melihat bagaimana Maura hanya menggeser-geser tablet saja.

"Kamu itu lagi bingung apaan?" Imbuh Dian sambil sekarang dia mendekati Maura yang duduk santai depan tivi.

"Bun, kemarin pas kita maen ke rumahnya mas Farhan, dia bilang kalau pengen serius sama Ara. Trus waktu kemaren Ara jaga, dia juga temenin Ara sampe hampir subuh baru dia balik pulang" Akhirnya Maura memilih untuk menceritakan saja apa yang ada di pikirannya pada Dian.

Dian tersenyum saja mendengar semua cerita Maura. Jauh di dalam hatinya, dia sendiri juga menyukai sikap Farhan yang sopan. Saat berkunjung ke rumah Farhanpun, Dian juga menyukai bagaimana keluarga Marsih yang menyambut mereka dengan hangat.

"Trus, kamu sendiri gimana lho? Kamu mulai suka sama Farhan?" Dian sudah mulai bisa menebak bagaimana hati Maura akan berpihak, tapi Maura malah menggeleng pelan.

"Ara gak tahu bunda. Mas Farhan emang orangnya enak buat diajak ngobrol. Nyenengin kalau deket sama mas Farhan. Sama keluarganya kan juga baik-baik semuanya"

Dian mengangguk. Maura memang belum sampai pada level jatuh cinta pada Farhan, namun setidaknya, perhatiannya sekarang mulai terarah ke Farhan.

"Oh ya, Kapan hari kan kamu juga pernah cerita kan kalau Farel juga kayaknya mau deketin kamu lagi. Trus, gimana sama Farel?"

"Nah, itu juga bunda. Dia emang udah minta maaf sih ke Ara. Kalau Ara sendiri sih udah gak peduli lagi sama apa yang udah kejadian di masa lalu."

Siang itu mereka habiskan dengan Maura yang mencurahkan apa yang sedang dia alami. Bagaimana dia bingung dengan perasaannya pada kedua pria yang sama-sama jelas sedang mendekatinya.

Farel datang dengan rasa penyesalannya dan sikapnya yang manis. Farhan datang dengan semua sikap gantle dan keluarga yang juga menyambut Maura dengan hangat. Dengan Farel, Maura pernah memiliki cerita masa lalu dan dengan Farhan, dia menawarkan satu lembaran cerita yang baru.

***

Entah sudah berapa gelas minuman beralkohol itu Farel tenggak dan sudah berapa batang rokok habis dia bakar. Farel hanya berharap kalau semuanya itu bisa membuatnya melupakan maura, tapi nyatanya tidak. Hatinya terbagi. Satu sisi mengatakan bahwa dia tidak pantas untuk Maura. Dengan semua perbuatan buruknya di masa lalu pada Maura, sudah sangat wajar kalau Maura tidak merespon dirinya. Tapi di sisi hatinya yang lain mengatakan kalau dia masih menginginkan Maura. Dan sekarang dia seperti berdiri di persimpangan, dan tidak tahu harus memilih jalan mana.

"Gue gak nyangka kalau efek Maura bisa sebesar ini ke lu." Billy, teman masa SMA dan hingga sekarang. Sebenarnya dia sedikit terpaksa waktu Farel menyuruhnya datang ke club dan menemaninya minum.

"Gue sendiri juga bingung. Gue juga maunya gak punya perasaan apapun ke dia, tapi nyatanya gak bisa. Gue juga gak bisa nyalahin kalau Maura juga kayak ngegantungin gue."

Billy hanya bisa diam. Dia mendengarkan semua yang sekarang keluar dari ocehan Farel.

"Dan lu tahu, Bill? Ada lagi cowok yang kayaknya lagi deketin Maura. Dia cuman cowok miskin yang cuman bisa nganter sama jemput Maura pake skuter. Tapi, yang gue lihat, Maura sangat menikmati waktu bersama cowok itu."

Farel meluruhkan badannya ke sandaran kursi di club itu. Tangannya memijit pangkal hidungnya. Dia pusing. Pusing dengan semua perasaan yang tiba-tiba saja terfokus ke Maura tapi tidak ada respon kembali dari Maura.

"Gue tahu kalau gue belangsak, bajingan, brengsek. Terserah lu mau ngomong apapun soal gue, bakalan gue terima Tapi gue gak rela kalau ngelihat Maura sama cowok lain selain gue."

Billy menjadi bingung sendiri. Ini bukan Farel yang dia kenal selama ini. Tidak pernah dia lihat Farel yang jatuh seperti ini dan itu penyebabnya adalah seorang wanita yang bahkan dulu mereka buat sebagai mainan dan bahan taruhan. Dia ingin membantu temannya itu, tapi dia sendiri tidak tahu apa yang bisa dia lakukan. Andai saja dia tidak terlibat taruhan itu, mungkin akan lebih mudah untuknya bisa mendekati Maura dan membujuknya untuk membuka hati untuk Farel.

"Hahaha... Tapi tu cowok udah gue bikin celaka pagi tadi. Berani-beraninya dia sampe nemenin Maura di rumah sakit. Gue yakin tuh cowok udah nyesel sekarang. Salah sendiri lu ngusik gue. Berani-beraninya lu deketin Ara gue... hahahaha... Hick.. Pokoknya Maura harus jadi milik gue!" Farel nampaknya sudah di ambang batas tubuhnya. Dia mabuk dan meracau tidak jelas. Bahkan Bilyy harus menghempaskan tangan Farel yang coba menuangkan lagi minuman beralkohol ke gelasnya.

"Rel, lu kayaknya udah mabuk. Ok, daripada lu kecelakaan lagi kayak kemarin, mendingan kita pulang aja!"

Billy langsung memapah sahabatnya itu untuk keluar dari club. Lebih baik dia mengantarkan pulang Farel daripada nanti malah terjadi lagi kecelakaan seperti waktu lalu.

Muara Cinta Maura (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang