Farel sudah tidak bisa lagi bersabar. Sore itu dia kembali menemui Maura. Dia harus mengatakan semuanya kepada Maura. Jadilah dia dengan sedikit memaksa mengajak Maura untuk menemuinya di salah satu coffee shop yang ada di lobby bawah apartemen. Maura memang memberi syarat jika memang mau bertemu dan ngobrol dengannya, dia tidak mau keluar dari gedung apartemen tempat dia tinggal. Lagipula, sebelumnya Dian hanya memberi ijin Maura bertemu denga Farel sebentar saja. Sangat terlihat jika Dian tidak terlalu menyukai jika Maura dekat dengan Farel. Farel menyetujuinya, karena yang penting untuknya dia bisa mengatakan semua isi hatinya pada Maura.
"Kamu mau ngomong apa sih Rel? Ini udah seperempat jam dan kamu cuman diam sambil ngadukin iced americano kamu itu" Maura sudah sedikit kesal karena daritadi Farel sepertinya tidak fokus. Dia hanya mengaduk-aduk iced americano pesanannya sambil tadi dia menanyakan kabar Maura, pekerjaan Maura dan pertanyaan-pertanyaan klise lainnya.
"Ra, Mau ya jadi pendamping hidupku. Jadi ibu dari anak-anak kita kelak..."
Yang ada di otak Farel adalah bagaimana dia bisa mengikat Maura dan dengan begitu tidak ada orang lain lagi yang bisa merebut Maura dari tangannya.
"HAH? Maksudmu Rel?" Jelas saja Maura bingung dan gelagapan dengan semua perkataan Farel baru saja.
"Kamu gak lagi mabuk atau lagi ngobat kan Rel?"
Farel menggeleng keras. Dia sudah memprediksi kalau Maura bakalan kaget dengan apa yang menjadi tujuan utamanya.
"Enggak! Aku gak lagi mabok kok! Aku cuman pengen kita kayak dulu lagi......"
"Gak pernah ada kita di masa lalu, Rel. Nyatanya kamu nembak aku cuman karena kamu taruhan sama Billy dan aku nerima kamu juga karena kamu udah lecehin aku kan? Buatku gak pernah ada cerita diantara kita Rel. Gak pernah ada cerita karena yang ada adalah penyesalan, Rel"
Suasana mendadak langsung hening. Farel langsung diam. Awalnya dia memang ingin membuka kembali memori lama mereka, tapi sepertinya strateginya itu salah.
"Maaf....."
"Udah, gak perlu lagi kamu minta maaf. Kejadian dulu itu juga ada kesalahanku juga. Aku yang terlalu bodoh dan naif."
Untuk beberapa saat, suasana menjadi canggung. Tidak ada suara diantara keduanya. Atensi mereka sibuk tertuju pada pesanan mereka masing-masing.
"Jadi, gimana Ra? Mau nggak jadi istri aku?"
"Dulu kamu nembak aku buat jadi pacar kamu itu karena kamu lagi taruhan sama Billy, sekarang kamu minta aku jadi istri kamu, kamu lagi taruhan sama siapa Rel? Hm, pertanyaannya sinyo kemarin belum kamu jawab lho. Berapa sih harga aku di taruhan kalian?"
Dalam diamnya, Farel mengeratkan kepalan tangannya. Dia menatap nanar ke arah Maura yang juga membalas tatapan Farel. Sangat jelas terlihat bagaimana Maura tidak percaya pada Farel. Hari ini, Maura yang Farel temui bukanlah Maura yang selama ini dia tahu. Kemrian, dia masih melihat Maura yang berlaku santai, tenang dan bukan Maura yang setiap berkata-kata selalu mengunci dirinya. Membuatnya tidak bisa menjawab apa yang dikatakan Maura.
"Rel, aku membiarkanmu berda di sekitarku bukan berarti aku menerima kamu di kehidupan pribadiku. Berinteraksi kembali dengamu juga bukan berarti aku udah buka hatiku lagi buat kamu"
"Ra, aku bener-bener minta maaf. Apa yang bisa aku lakuin biar kamu percaya kalau aku emang udah nyesel"
"Gak perlu kamu capek-capek membuktikan kamu udah nyesel. Buat apa? Buat aku percaya sama kamu? Buat aku tertarik sama kamu lagi, gitu? Gak Rel.. Kamu mau berubah seperti apapun juga aku gak bakalan perduli kok. Kenapa? Karena kamu bukan siapa-siapa di hidup aku"
Farel kembali tercekat waktu mendengar jawaban tidak terduga dari Maura. Dia sama sekali tidak menyangka jika hari ini dia akan menerima jawaban-jawaban pedas dan menohok dari Maura.
Suasana menjadi canggung kembali. Tidak ada diantara mereka yang berinisiatif membuka kembali perbincangan. Semua sibuk dengan pikirannya masing-masing.
"Ara... Ternyata di sini tho....."
Maura dan Farel langsung mendongakkan kepala. Keduanya langsung kaget saat melihat Farhan yang sedang berjalan dengan santai ke arah mereka. Keduanya sama-sama bingung, mengapa sampai Farhan datang dan bergabung dengan mereka. Maura tidak masalah dengan Farhan yang ikut bergabung, tapi berbeda dengan Farel yang sangat terlihat tidak suka dengan keberadaan Farhan yang dia yakin akan mengacaukan semuanya.
Sesampainya di dekat mereka, Farhan dengan santai menggeret satu kursi dan akhirnya dia bergabung satu meja dengan Farel dan Maura.
"Mas tadi tuh pengen main ke unit, trus yang ada cuman bunda. Sama bunda malah disuruh nyusul ke sini. Ya udahlah, mas nyusul ke sini. Eh, ternyata beneran ketemu kalian di sini" Seperti sudah tahu dengan isi kepala dari Farel dan Maura, Farhan berucap dengan santai.
Maura menyipitkan matanya saat melihat bekas luka di kening Farhan. Spontan tangannya lalu menunjuk ke arah bekas luka itu dan lalu bertanya ke Farhan
"Mas Farhan itu kenapa kok kayak luka gitu?"
"Ini? Gak sih waktu kemarin balik dari rumah sakit itu, mas agak ngantuk, jadi ya nge-gasrak trotoar gini."
"Waduh mas.. Sampe kayak gini. Mendingan waktu itu mas Farhan tidur duluan deh di ruang dokter. Kan ada tuh tempat buat istirahatnya. Jadinya gak sampe kayak gini."
Sejujurnya Maura merasa sangat bersalah karena dirinya Farhan bisa menjadi seperti ini. Jika saja Farhan tidak menemani dirinya tentu Farhan tidak akan mendapat celaka seperti sekarang.
Maura menggeser duduknya lebih mendekat ke Farhan. Nalurinya sebagai dokter lantas membuatnya untuk melihat bagaimana luka yang dialami oleh Farhan. Tangannya lalu terulur untuk memeriksa lebih teliti tentang luka di kening Farhan. Farhan sedikit meringis saat Maura menyentuh bekas lukanya.
Farel yang melihat bagaimana Maura sangat memperhatikan Farhan dan bahkan melupakan keberadaannya di depannya, tentu sangat cemburu. Darahnya semakin mendidih saat dia bisa melihat Farhan seperti mengejeknya dengan ekor mata yang melirik ke arahnya seolah mengatakan bahwa dia telah kalah. Ingin sebenarnya dia langsung saja membunuh Farhan tapi dia masih bisa menggunakan akal sehatnya dan dia juga ingat kalau ini adalah tempat umum.
"Mas, ntar habis ini ke unit dulu ya. Seinget Ara sih, Ara masih nyimpen salep yang bisa bikin lukanya mas Farhan jadi gak berbekas." Ucap Maura sesaat setelah dia memeriksa luka di kening Farhan.
"Eh, atau Ara ambil aja ya bentaran di atas. Kalian masih di sini kan ya? Ara naik dulu ambil salepnya tadi. Bentaran doang kok" Ujar Maura sambil beranjak dari kursinya dan kembali ke unitnya untuk mengambil salep obat untuk Farhan.
Maura tidak tahu, meninggalkan Farhan dan Farel dalam satu lokasi yang sama bisa berakibat fatal. Meninggalkan mereka berdua sama saja meninggalkan dua singa yang sama-sama haus akan pertarungan untuk memperebutkan buruan mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Muara Cinta Maura (Tamat)
RomantizmMasa lalu membuatnya menjadi sosok yang dingin dan tidak lagi percaya dengan cinta. Hingga akhirnya, sosok yang membuat luka itu kembali datang. Sisi profesionalisme membuatnya harus berinteraksi dengan sosok itu. Cerita tentang Maura dan bagaimana...