Part 7

1.4K 88 2
                                    

Hari ini, Farel sudah diperbolehkan pulang. Dia belum sembuh seratus persen, masih harus menggunakan kruk penyangga untuk membuatnya bisa berjalan. Langkahnya masih sedikit tertatih saat harus berjalan. Siang hari, Farel sudah duduk di lobby utama rumah sakit. Dia dan ibunya sedang mengurus administrasi untuk meninggalkan rumah sakit. Masih ada beberapa berkas yang harus dilengkapi terutama berkas untuk klaim ke asuransi.

Selang beberapa waktu, Darren, kakaknya bergabung dengan Farel dan duduk di sampingnya. Kondisi lobby saat itu lumayan ramai. Lalu lalang orang memenuhi ruang lobby. Pandangan Farel tiba-tiba saja terpaku pada dua orang yang sedang berjalan santai dan berbincang dengan ringan. Nampak sekali wajah ceria pada sepasang pria dan wanita tersebut. Fokus Farel hanya pada wanita yang beberapa waktu ini mengganggu pikirannya. Maura. Sesekali tawa lepas keluar dari mulut Maura. Jika saja dia tidak ada kruk yang saat ini tertempel di tangan kanannya, sudah pasti dia akan menghampiri keduanya. Mungkin saja Farel harus berterima kasih dengan kecelakaan yang dia alami.

Darren mengikuti arah pandang dari Farel. Dia tersenyum kecil melihat bagaimana Farel begitu fokus dengan pasangan yang sama-sama mengenakan baju scrub dokter yang berjarak kurang dari lima meter dari mereka sekarang.

"Itu yang namanya Maura? Cantik ya dia?" Pertanyaan yang sebenarnya sekedar memastikan dari Darren. Tanpa diberi tahu dia sudah bisa menebak jika wanita itulah yang bernama Maura.

"Lu kok tahu bang?" Farel mendadak bingung dengan tebakan dari Darren. Dia lalu menolehkan kepalanya ke Darren

"Ketahuan lah dari cara kamu liatin dia. Sayang ya, gadis secantik dan sepinter kayak gitu kamu rusak cuman gara-gara duit yang abang yakin gak seberapa juga jumlahnya"

Sindiran pedas dari Darren membuat Farel seketika ciut. Dia hanya bisa diam dan tidak membantah apapun.

"Saran abang sih, kalau kamu bener-bener nyesel sama apa yang kamu buat, jangan bikin senyum cantik itu ilang dari wajahnya. Cukup sekali kamu membuat luka padanya. Jangan kamu paksa dia menerima kamu lagi dengan dalih kamu mau bertanggung jawab. Kamu terlalu brengsek buat dia dan dia terlalu baik buat kamu."

Wajah Farel kembali pias saat mendengar perkataan dari Darren. Sedikit banyak dia memang berniat untuk meminta maaf dan memang jika bisa, dia ingin kembali menjadi pasangan dari Maura, namun dia sendiri juga berjanji pada dirinya sendiri untuk tidak menggunakan cara licik seperti dulu lagi.

"Mending kamu sekarang benerin diri kamu sendiri dulu. Setidaknya buat kamu pantas buat ketemu dan minta maaf sama gadis itu." Darren berucap sambil berdiri lalu memapah Farel. Mobil yang akan mengantar mereka pulang sudah berada di depan lobby.

Ingin sebenarnya Farel tetap berada di rumah sakit ini, karena hanya di sini dia bisa melihat dengan lebih dekat senyum dan wajah ceria dari Maura. Setelah ini, entah, apakah dia bisa kembali melihat senyum itu? Apakah dia bisa kembali merasakan debaran aneh di hatinya saat dia bisa memandang wajah ceria dari Maura?

***

"Kemu bener-bener keterlaluan sih nyo! Masak iya mau beliin cincin buat istri kamu kok malah ngajaknya aku? Ya ngajak sana istri kamu" Maura menatap jengah Prima yang justru sekarang malah cengar-cengir sendiri. Dari tadi, Prima merayu Maura untuk membantunya memilihkan cincin untuk istrinya. Wajah yang dibuat polos dan senyum tanpa dosa tampaknya belum cukup kuat untuk membuat Maura mengatakan iya pada permintaan Prima.

"Lha kan namanya juga surprise! Kalau ngajakin bini gue, namanya bukan surprise!" Rencananya memang dia ingin memberikan kejutan di hari ulang tahun pernikahan mereka.

"Aku tuh gak paham soal perhiasan macam gitu. Selera istri kamu juga aku gak tahu yang gimana? Mendingan gak usahlah pake kejutan segala" Maura masih mencoba menolak permintaan dari teman, rekan kerja, sahabat sekaligus merangkap tempat curhatnya itu.

"Lu tahu sendiri bini gue orangnya aneh. Kalau gue bebasin milih, ntar yang dipilih pasti yang imitasian atau kalau gak gitu milih yang KW. Apa gak bikin malu gue? Dipikirnya orang gue gak sanggup beliin bininya"

Ani, istri dari Prima memang memiliki pribadi yang cukup unik. Dia sangat berbeda dengan wanita kebanyakan. Jika saja wanita kebanyakan akan membelanjakan uangnya untuk perhiasan, atau aksesoris lain untuk penampilannya, dia malah membelanjakan uangnya untuk membeli saham, obligasi atau memasukkan uang suaminya itu pada instrumen keuangan lainnya.

"Harusnya kamu malah seneng kan punya istri kayak gitu. At least duit kamu aman, dia juga bukan tipe yang morotin kamu kan?"

"Gak inget kamu pas jamuan buka puasa bareng di rumahnya dokter Feinya tahun kemaren? Gelang dia jatuh trus langsung patah. Ketahuan kan pake gelang KW! Gimana gue yang lakinya dia gak malu?"

"Makanya, mau kan bantuin temen lu ini?" Prima kembali memohon setelah beberapa saat suasana hening diantara mereka. Wajahnya dibuat semelas mungkin namun malah membuat Maura ingin tertawa.

"Haahh.. Oke.. Oke.. Cuman gak gratisan ya!" Tangan Prima langsung saja mengepal ke udara mendengar perkataan dari maura. Akhirnya usahanya tidak sia-sia.

"Thank you so much! You know me so well" Prima langsung saja memeluk Maura dari samping. Tidak ada kecanggungan karena mereka memang persahabatan mereka sudah sedekat persaudaraan.

"Traktir makan siang sebulan gimana?" Maura berucap setelah dia melepas pelukan dari Prima. Mendengar itu, langsung saja Prima menganggukkan kepalanya. Hanya mentraktir makan siang Maura, tidak akan membuatnya bangkrut.

"Ya udah, ayuk lah makan siang. Laper!"

"Ayoklaahh...."

Maura membalikkan badannya dan tangannya langsung menarik Prima. Dia memang sudah merasa lapar siang ini dan tidak membawa bekal seperti biasanya. Sementara, Prima menurut saja ditarik tarik seperti itu oleh Maura.

Keduanya lalu melangkah keluar dari ruang tempat kerja mereka. Melangkahkan kaki, mereka memilih untuk menikmati makan siang mereka di kafe yang ada di depan rumah sakit. Seperti biasanya, mereka masih saja bercanda dan tertawa lepas. Mereka mungkin tidak tahu, jika saja apa yang mereka lakukan sekarang mengundang pandangan dari seseorang. Pandangan yang menyiratkan kerinduan yang amat dalam dan mungkin juga pandangan yang menyiratkan kecemburun. Tapi, lebih dari itu semua, pandangan itu lebih menunjukkan penyesalan yang sangat dalam.


Muara Cinta Maura (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang