Part 8

1.2K 85 6
                                    

Memenuhi janjinya, sekarang Maura dan menemani Prima untuk berbelanja perhiasan. Berdua mereka menjelajahi mall yang saat malam itu tidak terlalu sesak pengunjung. Hari masih belum terlalu larut saat mereka berdua menyelesaikan belanja perhiasan dan beberapa barang lainnya, membuat mereka memutuskan untuk sekedar bersantai dan menikmati malam bersama. Prima dan Maura kini berada di satu kafe yang berada di dekat pintu masuk mall.

"Thanks ya udah mau nemenin belanja ini semuanya" Prima berkata sambil tangannya mengaduk pelan avocado juice with extra coffee pesanannya dan kemudian menyesapnya pelan.

"You're welcome nyo.. Mudah-mudahan aja Ani cocok sama perhiasan yang tadi aku pilihin." Jawab Maura setelah dia menelan onion ring, kudapan ringan yang menjadi kesukaan dari maura jika dirinya bersantai di cafe.

"Hm.. Misal nih, misal ya, kalau Ani emang gak cocok atau gak suka sama desain yang tadi aku pilih, bilang ya! Aku ganti duitnya. Buat aku aja" Semua model perhiasan tadi memang pilihan dari Maura, maka sudah pasti dia menyukai model-model yang dia pilih.

"Biasanya sih, kalau gue bawain barang-barang apapun, bini gue gak pernah nolak kok. Jadi kayaknya yang ini juga dia gak bakal nolak" Prima berkata sambil mengambil kotak cincin dan membukanya. Dipandangnya sekilas cincin dengan model klasik dengan batu permata berwarna hijau berkilauan.

"Pinjem bentar tangannya..." Cincin yang tadinya masih di kotak berwarna merah itu, kini sudah berpindah di jari manis Maura. Prima langsung tersenyum melihat cincin itu sudah tersemat di jari manis Maura.

"Tuh kan manis cincin-nya. Bener deh, desain pilihan lu tuh, simple dan elegan gitu ngeliatnya. Beneran yakin gue kalau bini gue juga suka"

"Satu lagi yang penting, semua barang yang aku tadi pilih, gak mahal-mahal banget kan? Masih masuk di budget kamu kan, nyo?" Maura mengatakan itu dan kemudian disusul dengan gelak tawa diantara mereka berdua.

"Eh, ngomong-ngomong kamu gimana ngomongnya ke istrimu? Ngomong gitu kalau keluar sama aku?" Maura merasa penasaran saja bagaimana Prima bisa keluar malam ini.

"Gue bilang kalau harus cito malam ini. Ya, bini gue percaya aja gue bilang gitu" Kembali, keduanya tergelak walau harus tertahan karena mereka sedang ada di tempat umum.

"Udah ah, makan yuk.. Udah laper nih.. Tadi lumayan juga keliling mall. Berasa latihan kardio"

Mereka berdua menikmati malam dengan bercanda bersama, ditemani makanan ringan yang kini ada di depan mereka. Sikap mereka yang sangat akrab dan tanpa sekat itu, ditambah bagaimana tadi saat Prima menarik pelan tangan Maura dan menyematkan cincin di jari manisnya, membuat orang pasti berpikiran jika mereka berdua memiliki relasi lebih dari sekedar teman.

Berjarak tiga meja dari tempat Prima dan Maura menikmati makanan mereka, duduk dua pria. Salah satu dari dua pria itu sedari tadi mengeluarkan ponselnya dan mengambil foto Prima dan Maura. Beberapa kali dia menganggukkan kepalanya sambil sedikit senyum tersungging di bibirnya. Kedua pria tersebut adalah Darren dan Ernando. Mereka sedang menunggu istri-istri mereka yang kebetulan berbelanja di mall.

"Bang, dari tadi gue liatin lu sibuk banget sama ponsel lu? Lagi fotoin siapa sih?" Nando, sapaan akrab dari Ernando, sebenarnya gatal ingin bertanya pada kakak sulungnya itu. Sejak tadi, tidak pernah lepas dari ponselnya.

Darren menatap Nando sekilas, lalu dia menunjukkan beberapa foto Prima dan Maura yang tadi dia ambil.

"Sejak kapan lu jadi seneng kepoin hidup orang?" Diantara mereka bertiga, Darren memang memiliki pribadi yang paling hangat. Namun, dia juga tipe orang yang tidak perduli dengan lingkungan yang tidak dia kenal.

"Ceweknya itu namanya Maura, kalau cowoknya sih, gak tahu namanya. Mereka berdua dokter di rumah sakit tempat Farel dirawat..." Darren diam sejenak dan kemudian meletakkan ponsel yang sedari tadi dia genggam terus.

"Trus?" Nando mulai penasaran dengan cerita dari Darren.

Setelah mengambil napas panjang, Darren memilih untuk menceritakan apa yang sudah Farel ceritakan kepadanya. Selesai bercerita, Nando yang posisi duduknya membelakangi Maura dan Prima membalik duduknya dan lalu melihat Maura dan Prima. Melihat dengan lebih cermat lagi bagaimana Maura tersebut.

"Gue gak nyangka kalau Farel sebejat itu. Gue emang sering bolos sampe minum juga sih waktu sekolah, tapi gue gak ngerusak anak orang. Apalagi ini pake taruhan segala!"

Nando sebenarnya ingin menolak percaya dengan apa yang baru saja diceritakan oleh Darren. Tapi, melihat bagaimana runtutnya cerita dari Darren, ditambah selama ini Darren bukanlah orang yang suka berbicara tanpa fakta, membuatnya harus mempercayainya.

"Trus maksud lu tadi fotoin mereka, tuh ngapain bang?" Nando kembali bertanya karena dia masih penasaran mengapa Darren sampai memfoto Maura dan Prima.

"Mau aku share sama Farel. Kalau dari yang dia bilang, dia nyesel dan pengen minta maaf sama cewek itu. Trus, kalau lihat gimana caranya Farel cerita dan ngelihat cewek itu, dia kayaknya jatuh cinta lagi sama cewek itu. Gue cuman ngerasa kasihan sama cewek itu kalau sampai jatuh kedua kalinya ke tangan Farel."

"Lu bukannya dukung adik lu sendiri bang?" Nando masih bingung dengan apa yang dipikirkan Darren. Jelas sekali jika Darren tidak menyetujui jika Farel mendekati kembali Maura.

"Gak lihat gimana bahagianya mereka? Lihat gimana senyum mereka? Apa kamu tega ngerusak senyum itu? Kamu tega membuat kebahagiaan itu hilang dari mereka?"

Nando lalu kembali membalikkan badannya dan memang dia melihat bagaimana interaksi Maura dan Prima yang terlihat sangat bahagia.

"Aku gak akan menghalangi Farel kalau dia mau minta maaf ke cewek itu, tapi kalau dia coba balikan lagi sama cewek itu, mungkin aku orang pertama yang tidak setuju"

Mengakhiri ucapannya, Darren lalu mengambil kembali ponselnya. Dia lantas melakukan apa yang tadi dia katakan. Semua foto-foto yang tadi dia ambil, dia share ke Farel.

***

Farel sedang bersantai di balkon kamarnya. Kaki yang belum pulih membuatnya harus membatasi semua aktivitasnya. Dia hanya sendirian di rumah. Kedua orang tuanya sedang menghadiri undangan kolega mereka dan semua keluarga kakaknya sedang pergi jalan-jalan ke mall.

Jari jemari Farel terkepal kuat, rahangnya langsung mengeras saat dia membuka pesan yang baru saja dikirimkan Darren. Niatnya bersantai sambil menikmati pemandangan dari balkon kamarnya menjadi hilang. Bukan perasaan tenang yang sekarang dia dapat, namun hati yang panas dan marah, tapi dia sendiri juga tidak tahu dia marah dan panas hatinya untuk apa? Bukankah Maura juga bukan siapa-siapa untuknya, tapi mengapa dia tidak rela melihat semua senyum yang Maura berikan justru untuk lelaki lain? Dia juga tidak perlu lagi bertanya, mengapa kakak sulungnya itu mengirimkan foto-foto Maura dan Prima. Semua ucapannya saat di rumah sakit kemarin sudah lebih dari cukup untuk menggambarkan bagaimana sikap dari kakaknya.

"Kenapa gue gak rela liat lu senyum sama orang lain? Kenapa bukan gue yang jadi laki lu?"


Muara Cinta Maura (Tamat)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang