Malam itu, di ruang rawatnya, Jeno tengah duduk bersandar di kepala ranjang. Terlihat ia kini sudah tidak lagi memakai masker oksigennya dan sudah diganti dengan nassal canula karena ia diminta dokter untuk makan sebelum minum obatnya. Sedari kemarin perutnya dibiarkan kosong, sehingga sekarang ia harus memakan makanannya. Ya, kini ia sudah dipindahkan ke ruang rawatnya karena ia terus meminta dokter untuk memindahkannya ke ruang rawatnya. Ia mengeluh tidak nyaman berada di ruang ICU. Di ruangan itu terasa menakutkan baginya. Akhirnya karena ia terus saja membujuk, dokter pun memindahkannya ke ruang rawat. Ia ditemani sang ayah di ruang rawatnya. Hanya ayahnya yang berada di sana menemaninya, karena Tian sudah pulang sejak sore tadi.
Jeno sedang dibujuk untuk makan oleh ayahnya. Namun, Jeno sedari tadi tidak mau membuka mulutnya. Ia terus mendiami ayahnya dan tidak berminat untuk berbicara dengan ayahnya.
"Jeno, berdo'a dulu.. ayah sudah tiupin buburnya ini. Sekarang buburnya sudah ngga panas. Buka mulutnya, dek..", bujuk Devan.
Jeno tidak menjawab ucapan ayahnya. Ia masih saja mendiami ayahnya.
"Ayo buka mulutnya, Jeno.. kamu harus makan. Nanti perut kamu sakit. Sedari kemarin kan kamu belum makan. Sekarang makan, ya? Ayah suapin pelan-pelan", ucap Devan sambil mendekatkan sesuap bubur pada mulut Jeno.
Jeno memalingkan wajahnya dan menutup mulutnya rapat-rapat supaya ayahnya itu tidak bisa menyuapinya.
Devan lalu menghembuskan nafasnya panjang lalu meletakkan mangkuk berisi bubur buatan rumah sakit itu di atas meja yang berada persis di sebelah ranjang rawat Jeno.
"Jeno kenapa ngga mau makan? Jeno mau makan yang lain, hm?", ucap Devan.
Jeno tidak menjawab ucapan Devan. Ia masih memalingkan wajahnya ke arah lain tidak mau menatap ayahnya.
"Jeno.. jangan diami ayah kayak gini. Ayah minta maaf.. ayah kangen sama Jeno. Ayah kangen sama Jeno yang cerewet dan suka marah-marah sama ayah. Marahnya jangan diam kayak gini dong, dek..", ucap Devan.
"Memangnya Jeno ngga kangen sama ayah? Jeno ngga mau ayah sentuh. Jeno ngga mau dipeluk ayah?", ucap Devan.
Mata Jeno tampak berkaca-kaca. Ia menggigit bibir bawahnya supaya tidak menangis lagi.
"Jeno.. ayah kangen sama Jeno. Jeno beneran ngga mau maafin ayah?", ucap Devan.
Jeno lalu membalikkan wajahnya menghadap ayahnya.
"Ayah..", panggil Jeno dengan mata yang berkaca-kaca.
"Hm?", sahut Devan.
"Hiks.. Jeno juga kangen sama ayah.. hiks.. maafin Jeno, ayah.. hiks.. Jeno mau dipeluk.. hiks.. Jeno mau peluk.. hiks..", ucap Jeno sambil menangis dan merentangkan tangannya tanda ia ingin di peluk.
Devan pun segera memeluk Jeno dan mengelus punggung putranya lembut.
"Hiks.. hiks.. hah.. hh.. hiks.. ayah.. hiks.. maafin Jeno udah diemin ayah.. hiks.. tapi Jeno kesel sama ayah.. hiks.. Ay..yah..hiks..harusnya..hh.. hiks.. ngga..hh.. hiks..bol..leh.. gitu! Hiks.. hiks..", ucap Jeno sambil menangis di dalam pelukan Devan. Jeno menangis sampai sesenggukan membuat Devan khawatir putranya itu akan sesak lagi.
"Sssttt.. Jeno.. sudah jangan nangis kayak gitu.. nanti sakit lagi dadanya..", ucap Devan khawatir.
"Hiks.. uhuk! uhuk! hiks.. ayah..", ucap Jeno.
"Iya, dek.. ayah kan di sini sama Jeno. Kenapa nangis terus, hm? Hari ini kamu sudah berapa kali nangis coba? Jangan nangis terus, dek..", ucap Devan.
Jeno tidak menjawab ucapan ayahnya. Ia masih sibuk sesenggukan dan menghentikan tangisannya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peluk Aku, Bunda√
Novela JuvenilDILARANG PLAGIAT!!! ❌ (𝐿𝐸𝑁𝐺𝐾𝐴𝑃 !!) "Ayah, bisakah ayah kembalikan bunda? Aku butuh bunda,"