Jalan raya Jakarta, siang itu tidak begitu ramai. Di jalan itu, ada beberapa kendaraan yang melintas, salah satunya adalah mobil yang ditumpangi oleh bocah laki-laki berusia 5 tahun bersama dengan sang supir yang selalu setia mengantar- jemputnya ke sekolah. Bocah kecil itu baru saja pulang dari sekolahnya dan kini ia sedang dalam perjalanan pulang ke rumah besarnya. Ia termasuk dari keluarga yang berada. Ayahnya adalah seorang CEO dalam perusahaan besar.
Bocah itu duduk di sebelah sang supir sambil matanya terus menatap ke kaca jendela mobil. Supir yang masih terlihat muda itu melihat ke arah putra majikannya itu dengan wajah yang terlihat bingung. Ada apa dengan majikan kecilnya itu? Kenapa sedari tadi diam saja? Tidak biasanya majikan kecilnya itu menjadi anak yang pendiam seperti sekarang. Biasanya, majikan kecilnya itu pasti selalu bertingkah jika di dalam mobil. Entah itu memintanya untuk memberikannya cemilan ataupun sekedar bercerita tentang apa saja yang dilakukannya tadi di sekolah. Majikan kecilnya itu sedikit ceweret dan sangat aktif berbicara. Sehingga jika ia diam seperti ini, patut memunculkan banyak pertanyaan.
"Jeno.. kenapa diam saja? Tadi di sekolah ngapain aja? Diajarin apa sama bu guru?", tanya sang supir yang bernama Tian, memecahkan keheningan.
"Menggambar sama mewarnai, kak", ucap Jeno.
"O, ya? Jeno gambar apa?", tanya Tian.
Mendengar pertanyaan itu, Jeno malah terlihat menggigit bibir bawahnya. Matanya terlihat berair dan sepertinya ia ingin menangis sekarang. Hal itu tentu membuat Tian panik dan khawatir. Ada apa? Apa pertanyaannya itu salah?
Ia lalu memberhentikan mobilnya terlebih dahulu di pinggir jalan. Setelah itu, ia menatap majikan kecilnya yang sedari tadi tidak mau menatapnya. Matanya selalu mengarah pada kaca jendela mobil.
"Jeno.. Jeno kenapa? Cerita sama kak Tian, di sekolah ada teman Jeno yang nakal? Atau bu guru marahin Jeno tadi? ", tanya Tian.
Jeno menggelengkan kepalanya menjawab pertanyaan Tian.
"Terus kenapa? Apa karena Jeno gambarnya belum selesai?", tanya Tian lagi.
Jeno akhirnya menangis setelah itu. Hal itu tentu membuat Tian semakin khawatir pada majikan kecilnya itu.
"Jangan menangis, kak Tian minta maaf kalau pertanyaan kak Tian bikin Jeno nangis. Tapi berhentilah menangis, Jeno. Nanti kamu bisa sesak lagi", ucap Tian.
Jeno masih menangis dan bahkan suaranya semakin kencang.
"Jeno, jangan menangis. Kak Tian nanti beliin Jeno jelly di supermarket dekat sini. Jeno mau?", tanya Tian.
Jeno lalu langsung menghentikan tangisannya dan menatap ke arah Tian. Sungguh, Tian tidak bisa melihatnya. Tuan kecilnya itu imut sekali. Wajahnya yang menggemaskan itu menatapnya dengan mata yang berkaca-kaca dan pipinya yang terlihat basah karena air mata. Hidung kecilnya terlihat merah karena menangis. Suara sesenggukannya masih terdengar walau ia sudah berhenti menangis.
Tian lalu menghapus air mata Jeno yang membasahi kedua pipi tembamnya itu.
"Jeno mau jelly?", tanya Tian.
Jeno menganggukkan kepalanya lucu.
"Jeno mau, kak..", ucap Jeno.
"Ok, siap! Kak Tian nanti belikan jelly buat Jeno. Tapi Jeno ngga boleh nangis lagi, ya? janji?", ucap Tian.
"Janji", ucap Jeno sambil menganggukkan kepalanya cepat.
Tian lalu tersenyum menanggapi ucapan Jeno. Ia mengusap rambut kepala Jeno dengan lembut. Ia lalu menyalakan mesin mobilnya dan pergi menuju supermarket dekat jalan yang mereka lewati itu. Sesampainya di depan supermarket, Tian keluar dari mobil lalu membuka pintu mobil tuan kecilnya. Jeno lalu keluar dari mobil dan mereka berjalan bergandengan masuk ke dalam supermarket.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peluk Aku, Bunda√
Teen FictionDILARANG PLAGIAT!!! ❌ (𝐿𝐸𝑁𝐺𝐾𝐴𝑃 !!) "Ayah, bisakah ayah kembalikan bunda? Aku butuh bunda,"