Malam itu, pukul 00.04 Tiffany keluar dari rumah sakit. Ia akan kembali pulang ke rumah bersama dengan papahnya. Selama di perjalanan, ia banyak diam dan terus mengeluarkan air matanya. Hatinya begitu sesak mengingat kondisi putranya yang sedang tidak baik-baik saja sekarang.
"Tiffany..", panggil papah Tiffany sambil terus fokus menyetir.
"Sudah jangan menangis.. besok kita jenguk dia lagi, ya.. jangan sedih, sayang.. Jeno pasti bangun.. dia pasti dengar bundanya tadi.. dia ngga akan tega biarin bundanya nangis lama-lama.. Jeno itu anak Tiffany yang paling baik, kan?", hibur papah Tiffany.
"Hiks.. dia ngga mau bangun, pah.. dia pasti benci bundanya.. dia benci Tiffany karena ngga pernah ada buat dia.. hiks.. dia ngga mau lihat bundanya.. hiks.. hiks..", ucap Tiffany.
"Hey, sudah jangan berpikiran yang tidak-tidak, Tiffany.. Jeno belum mau bangun itu karena dia masih belum puas tidurnya. Besok pagi dia pasti sudah bangun. Dia masih ngantuk jam segini, kasihan.. biarin dia tidur dulu..jangan paksa dia bangun. Kalau sudah waktunya dia bangun, dia pasti bangun. Kamu ngga usah khawatir, Tiffany..", ucap papah Tiffany.
Namun, Tiffany masih tidak berhenti menangis. Ia terus menangis sambil terus menatap kaca jendela mobil.
Melihat itu, papah Tiffany tiba-tiba saja meminggirkan mobilnya dan menghentikan mobilnya di depan minimarket yang buka 24 jam.
"Kenapa berhenti di sini?", tanya Tiffany sambil menghapus air matanya.
"Hahhh.... Nangis lagi saja", ucap papah Tiffany, menghembuskan nafasnya panjang.
Tiffany lalu menatap sang papah dengan mata yang berkaca-kaca.
Papah Tiffany membalas tatapan Tiffany lalu menganggukkan kepalanya.
"Nangis saja, ngga pa-pa, Tiffany.. mumpung masih di sini. Nanti kalau mamah denger kamu nangis di rumah, mamah pasti marahin kamu lagi. Papah ngga mau kamu nanti dimarahin lagi sama mamah terus kamu jadi tambah sedih lagi. Papah ngga suka kalian ribut terus setiap hari. Lebih baik, kamu nangis sekarang saja. Kalau sudah lega dan lebih tenang, baru kita pulang, ya?", ucap papah Tiffany.
Tiffany hanya menganggukkan kepalanya pelan.
Tak lama, Tiffany menangis kencang di dalam mobil. Ia menangis sampai bersuara.
Mendengar putrinya menangis, papah Tiffany lalu keluar dari mobil. Ia tidak tahan mendengar suara tangis putrinya. Ia ikut mengeluarkan air matanya di balik pintu mobil. Beruntung, di depan area parkir minimarket itu sepi karena di jam semalam itu pengunjung tampak sepi sehingga tidak ada yang melihatnya menangis di sana.
"Tiffany.. putri kesayangan papah.. maafkan papah, nak.. papah terlalu memaksakan kehendak papah untuk tidak biarkan kamu menikah dengan laki-laki yang kamu cintai.. papah terlalu menyayangi kamu sampai papah sehati-hati itu dalam membiarkan kamu memilih laki-laki.. papah terlalu menilai Devan buruk.. ternyata cara yang papah buat memang salah.. papah justru menjauhkan kamu dari kebahagiaan kamu.. papah jauhkan kamu dengan anak kamu yang begitu kamu sayangi.. maafkan papah, Tiffany.. maafkan papah.. setelah ini, papah akan biarkan kamu melakukan apa yang kamu mau.. papah yang akan lindungi kamu dari mamah.. papah yang akan halangi mamah kalau berani paksa-paksa kamu lagi.. papah janji", ucap papah Tiffany dalam hati.
•••
Di balkon kamarnya, Reyhan tengah menyesap rokoknya sambil memainkan ponselnya. Entah apa yang mengganggu pikirannya, hingga ia tidak bisa tidur malam itu. Suara jangkrik menemaninya malam itu. Rambutnya bergoyang karena tertiup angin malam. Udara malam itu cukup menusuk kulit. Tapi ia tidak peduli meski hanya mengenakan kaos berlengan pendek yang membuatnya lebih merasakan dinginnya malam. Ia mengenakan kaos lengan pendek berwarna biru tua berlengan pendek dan celana pendek berwarna abu-abu.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peluk Aku, Bunda√
Novela JuvenilDILARANG PLAGIAT!!! ❌ (𝐿𝐸𝑁𝐺𝐾𝐴𝑃 !!) "Ayah, bisakah ayah kembalikan bunda? Aku butuh bunda,"