Sakit

3.4K 241 52
                                    

Siang itu, Devan menepati janjinya untuk pulang lebih awal. Setelah memarkirkan mobilnya, ia segera turun dari mobil dan memasuki rumah besarnya. Terlihat bi Surti menyambut kepulangan Devan yang baru saja pulang dari kantor.

"Jeno mana, bi?", tanya Devan. Setiap ia pulang dari kantor, pasti selalu putranya yang pertama ia cari dan tanyakan. Apalagi mengingat sekarang putranya itu sedang sakit.

"Tuan muda Jeno masih di kamarnya, tuan. Siang tadi setelah makan dan minum obat, tuan muda langsung tidur", ucap bi Surti.

"Banyak ngga makannya, bi?", tanya Devan.

"Sedikit, tuan. Tuan muda Jeno sejak kemarin sakit nafsu makannya sedikit menurun, tuan. Padahal, saya sudah berusaha untuk memasak makanan favoritnya", ucap bi Surti.

"Baiklah, tidak apa-apa. Terima kasih, bi", ucap Devan.

Devan pun segera menyusul putranya yang masih berada di dalam kamarnya. Ia membuka pintu kamar putranya tanpa mengetuknya. Namun, di atas ranjang tidak ada putranya. Hanya ada selimut dan guling yang terlihat berantakan. Ia lalu melihat ke arah pintu kamar mandi yang tertutup. Terdengar suara gemericik air yang mengalir dari dalam kamar mandi. Sepertinya putranya sedang berada di dalam kamar mandi. Ia lalu merapihkan sprei dan selimut Jeno yang berantakan itu. Setelah itu, ia duduk di atas ranjang putranya sembari menunggu putranya keluar dari kamar mandi.

Tak butuh waktu lama menunggu, Jeno akhirnya keluar dari kamar mandi sambil mengelap wajahnya yang basah menggunakan handuk kecil yang dipegangnya.

"Ayah? Udah pulang?", tanya Jeno setelah menyadari kehadiran sang ayah yang kini duduk di atas ranjang empuknya.

"Udah dong, kan ayah janji pulang jam 2?", ucap Devan.

Jeno lalu melirik jam dinding kamarnya yang menunjukkan pukul 13.56.

Jeno lalu tersenyum dan menghampiri ayahnya setelah menggantungkan handuk kecil yang dipegangnya di dekat pintu kamar mandi. Ia sengaja duduk di atas pangkuan ayahnya, tidak peduli walaupun ia sadar dirinya kini sudah tumbuh besar bahkan lebih tinggi dari sang ayah.

Devan pun mendekap tubuh putranya dan menciumi pipi putranya yang tirus itu.

"Jeno habis ngapain di kamar mandi?", tanya Devan.

"Buang air kecil. Terus sekalian cuci muka. Jeno baru bangun tidur", ucap Jeno.

"Jeno, tadi ayah tanya bi Surti katanya kamu tadi sudah makan dan minum obat. Tadi makan sendiri apa disuapin bibi?", tanya Devan.

"Makan sendiri lah. Jeno kan udah besar", ucap Jeno.

"Masa sih? Tapi kok Jeno masih sering minta disuapin ayah? Tadi pagi juga Jeno sarapan disuapin ayah, kan?", ucap Devan.

"Tapi kan itu beda! Jeno kan malu kalo minta disuapin bibi! Kalo sama ayah Jeno kan ngga malu. Lagian ayah kok gitu? Ayah ngga ikhlas suapin Jeno?! Ya udah besok-besok Jeno ngga bakal minta disuapin ayah ngga pa-pa, kok!", ucap Jeno kesal lalu berdiri dari pangkuan ayahnya dan membaringkan tubuhnya memunggungi ayahnya yang duduk di tepi ranjangnya.

"Hem, ngambek terus.. gitu doang ngambek", ucap Devan.

"Udah sanah! Ayah pergi aja dari kamar Jeno!", ucap Jeno.

"Oh, ngusir nih? Ayah pergi lagi ke kantor deh kalau gitu", ucap Devan.

Jeno yang mendengar itu pun semakin kesal dengan ayahnya. Kenapa ayahnya tidak mengerti bahwa ia itu sedang marah. Seharusnya ayahnya itu membujuknya dengan kata-kata manis dan meminta maaf padanya. Tapi ayahnya itu memang benar-benar menyebalkan. Ia hanya diam saja tanpa menjawab ucapan ayahnya. Ia ingin tahu apakah ayahnya benar-benar akan tega meninggalkannya dan pergi lagi ke kantornya?

Peluk Aku, Bunda√Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang