Malam itu, Naresh terlihat gelisah sejak kepergian Jeno dari rumahnya tadi. Ia terus saja memikirkan sahabat dekatnya itu.
"Ahhhh!!! Kenapa gua kepikiran lu terus sih, Jen!", ucap Naresh sambil mengusap wajahnya kasar.
Ia lalu pergi dari kamarnya menuju ke dapur untuk mengambil cemilan di lemari dapurnya. Ia mengambil keripik kentang rasa rumput laut. Ia membuka bungkus cemilan itu dan mengambil beberapa keping keripik itu dan memasukkannya ke dalam mulutnya. Ia berjalan meninggalkan dapur menuju ke ruang keluarga. Di sana, ada kedua orang tuanya yang duduk sambil menonton tv.
"Makan ciki terus. Bunda, ngga usah sediain ciki banyak-banyak lagi besok, bun.. anaknya jadi kesenengan makan ciki terus", ucap ayah Naresh.
"Abisnya kalo bunda belanja, Naresh pasti minta dibeliin banyak cemilan. Bunda kan ngga tega kalau cuma beli sedikit. Naresh nanti pasti galau cari-cari cemilan. Mulutnya itu kan ngga bisa diam, dikit-dikit ngunyah", ucap bunda Naresh.
"Tau tuh, ayah! Jadi orang tua tuh jangan pelit-pelit, dong!", ucap Naresh sambil mengunyah keripik kentang rumput lautnya itu.
"Ayah bukannya pelit, tapi kalau makan ciki keseringan tuh juga ngga baik buat kesehatan. Bunda harusnya jangan lah apa-apa selalu nurutin maunya Naresh. Harus ada batas juga", ucap ayah Naresh.
"Iya, ayah.. maaf. Habisnya bunda sayang banget sih sama Naresh. Bunda ngga tega kalau harus lihat Naresh bolak balik dapur bukain pintu kulkas cari-cari cemilan. Lagian bunda itu beli banyak buat stok. Buat sediaan. Tapi Naresh malah makannya ngga berhenti-berhenti", ucap bunda Naresh.
"Bunda emang terbaik sih daripada ayah", ucap Naresh.
"Aaaaaa... Makasih, sayang!", ucap bunda Naresh sambil tersenyum manis ke arah putranya.
"Sama-sama, bun. Udah ngga usah senyum-senyum gitu. Bunda kalo senyum cantiknya kelewatan. Nanti bunda bikin iri bidadari karena liat senyum bunda yang cantik itu melebihi bidadari", ucap Naresh.
"Aaaaaa... Gemes banget sih anak bunda! Besok Naresh mau minta dimasakin apa?", ucap bunda Naresh sambil mencubit pipi Naresh.
"Terserah, deh. Masakan bunda kan enak semua. Bunda itu kan juru masak paling handal sedunia", ucap Naresh.
Ia memang pandai memuji dan merayu perempuan. Maka dari itu, dirinya disebut buaya.
"Halah, mulutmu itu, Na. Selalu saja buat bunda takluk sama kamu", ucap ayah Naresh.
"Pokoknya ayah kalah deh sama Naresh", ucap Naresh.
"Ayah emang kalah sama Naresh, kok. Ayah itu orangnya ngga romantis. Puji bunda cantik aja ngga pernah", ucap bunda Naresh.
"Eh, jangan bilang aku ngga pernah bilang cantik ya ke kamu. Justru kamu yang ngga pernah puji ketampanan suami kamu", ucap ayah Naresh tak terima.
"Udah, lah. Ngga usah berantem. Ini Naresh lagi galau, nih", ucap Naresh.
"Kenapa, sayang? Putus lagi sama pacarnya?", ucap bunda Naresh.
"Bukan. Tapi Naresh kepikiran Jeno", ucap Naresh.
"Memangnya Jeno kenapa? Tadi siapa yang di depan? Ayah tadi ngga sengaja ngintip. Tapi ngga jelas lihat mukanya", ucap ayah Naresh.
"Itu Jeno", ucap Naresh.
"Loh, kenapa ngga disuruh masuk tadi?", ucap bunda Naresh.
"Anaknya ngga mau. Dia cuma mampir bentar tadi abis itu pergi lagi. Tapi ngga tau kemana. Dia cuma bilang katanya dia mau main", ucap Naresh.
"Tumben banget, emang Jeno dibolehin main malam-malam begini? Kalau ke sini baru sebentar saja ayahnya selalu hubungi dia berkali-kali nanyain kapan pulang, kok", ucap ayah Naresh.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peluk Aku, Bunda√
Fiksi RemajaDILARANG PLAGIAT!!! ❌ (𝐿𝐸𝑁𝐺𝐾𝐴𝑃 !!) "Ayah, bisakah ayah kembalikan bunda? Aku butuh bunda,"