BAB 34

1.1K 120 8
                                    

Ashel tidak mempunyai banyak waktu untuk menjenguk Kakek Harlan di ruang rawat karena dokter yang akan memeriksa Kakek sudah datang. Dengan enggan, ia keluar dari ruang rawat dengan ekspresi sedih. Meskipun demikian, Ashel merasa lega mengetahui bahwa kondisi kakeknya baik-baik saja.

Sesaat setelah keluar dari ruang rawat, Ashel dikejutkan oleh kehadiran seluruh keluarga Harlan Saputra yang sudah menunggu di luar. Sepertinya mereka sudah cukup lama menunggu.

Paman Jino bersama istrinya, Cindy, serta ketiga anaknya—Fiona, Amel, dan Maudi—melihat Ashel dengan ekspresi tak percaya. Paman Gito tampak sedih, meskipun istrinya, Fioni, dan kedua anak mereka, Christo serta Pricilla, tampak kaget. Terakhir, Bapak Abraham menatapnya dengan ekspresi dingin yang segera berubah menjadi marah. Istrinya, Anin, dan anaknya, Mutia, juga terlihat terkejut.

Ashel hanya terdiam, mematung, di hadapan mereka semua. Kemudian, Maudi yang pertama kali berbicara.

"Anna, ini benar lo, kan?" Maudi berlari mendekati Ashel dengan suara keras, membuat semua mata tertuju padanya.

Ashel hanya mengangguk, dan begitu mendengar jawaban itu, Maudi langsung memeluknya dengan erat. Ia tidak menyangka bisa bertemu kembali dengan sosok Anna setelah lima tahun berlalu, sejak mereka berpisah di acara yang tak ingin ia ingat.

"Ini yang kamu lakukan di Indonesia?" tanya suara dingin di depannya. Ashel melepaskan pelukan dari Maudi dan menatap pria yang baru saja berbicara: Bapak Abraham Harlan Saputra.

Ashel tidak menjawab. Ia hanya menatap Bapak Abraham dengan wajah datar. 'Dia bukan Anna lima tahun yang lalu. Sekarang, tak ada yang aku takuti,' pikirnya.

"Bagaimana bisa kamu datang ke sini dengan penampilan seperti itu?" tanya Bapak Abraham lagi.

Ashel baru menyadari bahwa ia hanya mengenakan piyama dengan balutan jas, karena ia terburu-buru datang ke rumah sakit dan tidak sempat memperhatikan penampilannya. Rambutnya juga masih acak-acakan.

"Maudi, gue pulang, ya. Kakek lagi diperiksa sama dokter, gue permisi dulu," ujar Ashel, mencoba mengabaikan pertanyaan yang dilemparkan Bapak Abraham.

"Iya, Anna. Gue minta nomor HP, lho. Boleh nggak?" pinta Maudi, berharap bisa terus berhubungan dengan Anna, takut dia akan hilang lagi.

"Sorry, maudi. Gue nggak bawa HP. Nanti kalau kita ketemu lagi, gue janji bakal kasih nomor gue. Tapi sekarang gue pergi dulu, ya."

Mendengar perkataan Ashel, Maudi terlihat sedih. Ia tahu, Ashel masih belum bisa melupakan kejadian lima tahun lalu. "Gue ngerti," jawabnya sambil memeluk Ashel untuk terakhir kali.

Ashel melangkah pergi, melewati anggota keluarga Harlan Saputra yang masih terkejut. Namun, tiba-tiba terdengar teriakan keras.

"ANNA!!" teriak Abraham dengan kesal, merasa dirinya diabaikan. Ia berjalan mendekati Ashel dengan langkah cepat.

"Mas, sudah. Anna itu sepertinya sedang sibuk dengan kekasihnya, dasar wanita jalang!" ujar Anin dengan nada tinggi, menarik tangan Abraham agar menghentikan langkahnya.

Mendengar kata-kata kasar dari Anin, Ashel tetap tenang. Ia tidak tersulut emosi. Namun, Pak Aldo yang berada di dekatnya tampak emosi mendengar kata-kata itu.

"Jaga bicara anda, Nyonya!" ucap Pak Aldo tegas, sambil mendekati Anin dengan wajah yang jelas menunjukkan amarahnya.

Ashel segera menggenggam tangan Pak Aldo, berusaha menenangkannya.

"Pak!" ujar Ashel pelan, sambil menatap wajah Pak Aldo.

"Sudah, jangan!" pinta Ashel sambil menggelengkan kepalanya, membuat Pak Aldo sedikit tenang.

"Tapi Ashel..." protes Pak Aldo, ingin sekali ia memarahi wanita tua yang lancang itu.

"Yuk, kita pergi. Kita masih sibuk dengan kegiatan kita," ujar Ashel dengan tegas, sembari menatap wajah Abraham dan Anin. Lalu, ia mulai berjalan keluar dari ruang tunggu.

Ashel terus menggenggam tangan Pak Aldo dengan erat, dan saat mereka melintas di koridor rumah sakit, orang-orang mulai memperhatikan mereka. Mungkin karena penampilan mereka yang aneh: Ashel yang masih mengenakan piyama dengan jas, dan Pak Aldo yang hanya mengenakan kaos dan celana pendek, dengan rambut yang sama-sama acak-acakan.

Ashel tak memperdulikan tatapan orang-orang. Ia terus melangkah keluar dari rumah sakit.

Setibanya di parkiran, Ashel melepaskan genggaman tangan Pak Aldo dan menatapnya. Ia tidak tahu bagaimana cara menjelaskan semuanya kepada Pak Aldo.

Namun, sebelum Ashel membuka mulut, Pak Aldo sudah terlebih dahulu berbicara.

"Saya mengerti," ucap Pak Aldo pelan. Mendengar itu, Ashel langsung paham bahwa Pak Aldo tidak menginginkan penjelasan lebih lanjut.

"Pak, saya mau langsung pulang ke apartemen. Bapak...?" Ashel bingung bagaimana mengatakannya, karena saat ini ia ingin sendiri.

"Saya mengerti," jawab Pak Aldo sambil memegang kedua telapak tangan Ashel.

"Makasih, Pak," ucap Ashel dengan tulus. Lalu, ia berjalan masuk ke dalam mobil. Namun, saat hendak menutup pintu, ia menengok ke belakang dan melihat Pak Aldo yang masih berdiri, menatapnya dengan wajah sedih.

Ashel kemudian turun dari mobil dan mendekati Pak Aldo. Tanpa berkata-kata, ia mencium pipi kanan Pak Aldo.

"Terimakasih, Pak," ucap Ashel, lalu berjalan masuk kembali ke dalam mobil dan meninggalkan Pak Aldo yang masih terkejut, berdiri di sana, tidak tahu harus berkata apa.

SOSOK SEMPURNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang