BAB 54

1.5K 129 21
                                    

Pak Aldo membawa mobilnya melewati kawasan asri. Ashel mengenal jalan ini, ini adalah jalan menuju asramanya. Ia menatap wajah Pak Aldo, ada satu pertanyaan di pikirannya, tapi ia segera membuang pikirannya itu karena terasa aneh. Mana mungkin Pak Aldo tahu soal asramanya. Tapi tiba-tiba Pak Aldo menghentikan mobilnya di suatu kawasan pemakaman elit. Ashel tahu pemakaman ini karena sewaktu Ashel pulang dari asrama, ia sering melewati dan juga melihat dari dalam mobilnya banyak orang yang bertajiah di kawasan makam ini.

Turun dari mobil, Pak Aldo lalu membukakan pintu untuk Ashel.

Ashel turun dari mobil dan menatap wajah Pak Aldo yang terlihat sedih. Ashel tidak bertanya, ia seolah tahu kesedihan yang ada di dalam diri Pak Aldo. Menggenggam tangan kiri Pak Aldo, ia mengusap telapak tangan itu berusaha menguatkan Pak Aldo, kemudian mencium tangan Ashel.

Mereka berdua berjalan menuju satu makam, tapi di nisan makam tersebut tertulis dua nama, nama tersebut adalah Gaby dan Frans Abiwijaya.

“Sini sayang!” pinta Pak Aldo kepada Ashel mengajaknya untuk duduk di samping makam tersebut. Hati Ashel bergetar, seolah tahu siapakah mereka. Tangannya mengeratkan genggaman pada tangan Pak Aldo.

“Mah, pah, ini Adel bawa calon mantu buat mamah papah,” Ashel menggigit bibir bawahnya berusaha menahan tangis. Pak Aldo mengusap tangan Ashel dengan jempol jarinya.

“Namanya Ashel, cantik kan pah? Gak kalah cantik sama mamah,” ucapan dari Pak Aldo membuat Ashel seketika mencubit tangan Pak Aldo karena kesal. Di suasana seperti ini, bisa-bisanya Pak Aldo malah bercanda.

Pak Aldo hanya tersenyum dan melanjutkan perkataannya.

“Adel ke sini mau minta izin buat nikahin Ashel, semoga kalian memberikan kami doa restu supaya pernikahan kami berjalan dengan lancar,” ucap Pak Aldo, mengusap batu nisan orang tuanya, lalu menatap mata Ashel.

“Mamah Gaby, papah Frans,” ucap Ashel. Pak Aldo memeluk tubuh Ashel karena mendengar Ashel mengatakan itu.

“Gak papa kan Ashel panggil mamah Gaby dan papah Frans, bukan tante dan om? Ashel harap kalian bisa tenang di sana, kalian bisa percaya sama Ashel. Ashel janji bakal jadi istri yang baik buat Mas Aldo.”

Pak Aldo mencium pucuk kepala Ashel.

“Kalian yang tenang di sana, kami minta doa restunya. Semoga Ashel dan Mas Aldo selalu sehat sampai hari pernikahan kami,” ucap Ashel, ia menatap wajah Pak Aldo dengan senyuman sedih. Bagaimana bisa nasib Pak Aldo sama dengannya? Ashel lalu menyenderkan kepalanya di pundak Pak Aldo. Untuk beberapa saat mereka tidak berbicara satu sama lain, hanya hembusan angin dan juga suasana alam yang tenang membuat mereka berdua rileks. Ashel menutup kedua matanya.

Setelah lilin mati, semua orang bertepuk tangan riuh, membuat Ashel tersenyum bahagia.

“Ada hal yang ingin ayah katakan sama kamu,” ucap Abraham pelan saat Ashel memotong kue ulang tahunnya. Ia sebenarnya ingin memberikan potongan kue pertamanya kepada Kakek Harlan, hanya saja karena Kakek Harlan tidak ada, alhasil Ashel memberikannya pada Abraham. Abraham tersenyum untuk beberapa saat, Ashel terdiam melihat pemandangan itu. Ia tidak percaya dengan apa yang ia lihat, seorang yang dingin dan tidak pernah memperdulikan keberadaannya, tersenyum kepadanya.

“Terima kasih sayang,” ucap Abraham, mengambil potongan cake tersebut, kemudian ia mencium pucuk kepala Ashel.

“Apakah ini mimpi?” tanya Ashel dalam hati.

Ashel kembali memotong kue ulang tahunnya, memberikan pada Maudi, lalu ke anggota keluarga Harlan yang lain.

Setelah acara potong kue selesai, kini mereka semua mulai berdansa. Tapi Ashel tidak ikut berdansa. Ia berjalan melewati kerumunan tamu mencari sosok Atin.

SOSOK SEMPURNATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang