00 | prolog

917 58 71
                                    

Ternyata setelah diresapi, hidup memang bagaikan di keliling oleh rombongan gongongan anjing di sana sini. Orang yang berkuasa berdiri di atas segalanya. Orang yang tertindas kalah telak, bersimpuh membasuh kaki mereka.

"Masih punya muka ni anak masuk ke kelas." Tak salah manusia dengan segudang masalah terlintas pikiran menyudahi. Selepas puas merasa diludahi, menegaskan siapa yang paling kotor di muka bumi.

Kakinya melipir ke pinggir menapak jalan raya. Tak terhitung sejauh mana hampa pikiran membawanya berkelana. Ditemani tas selempang yang lusuh oleh tinta pekat dan bau mencekat ke tenggorokan. "Lo yang nyolong duit kas kan? Cuma lo yang betah di kelas!"

Rok panjang birunya dan baju dengan kain putih menambah tampilan semrawut dari gadis berambut panjang dengan poni tipis. Betul, dia anak yang masih duduk di bangku sekolah menengah pertama. "Dasar cewek miskin, nggak usah sok mampu beli skincare kalau buat jajan doang masih nyolong!"

"Denger nggak sih? Lo bisu apa tuli?!" Lantaran hanya melontarkan cibiran, orang dewasa menilainya sepele. Tau kah mereka, justru caci-makian dari lisan lebih tajam menikam.

"Jijik gue. Nyokapnya aja nafkahin anaknya dulu make uang haram, hasil celup sana sini." Gema gelak tawa mereka berseluncur dengan derasnya di ingatan.

"HAHAHA! Pantesan anaknya gini, mau nerusin karir nyokapnya dia." Entah pura-pura tuli atau buta. Berdirinya Nareina di sini disebabkan oleh tajamnya lisan mereka.

Ia rasakan badannya setinggi bukit namun mudah ambruk bila tertimpa langit. Gumpalan awan tempatnya mendaratkan netra beremun, terbelai oleh serpihan kaca. Angin yang seharusnya berperan menenangkan, mempersilakan menyengsarakan. Entah sudah berapa kali menyingkirkan kaca-kaca yang tak juga perpindah tempat dari kedua matanya.

Satu pertanyaan, apa harus berakhir di sini? Bibirnya mengatup rapat. Usai melancarkan debat panjang di kepala. Kini berpijak pada bantalan yang diapit oleh batangan besi baja, jalur rel kereta api.

Alas kakinya menyatu dengan bebatuan yang berhamburan. Makin deras cairan menggenangi pelupuk mata. Sekedar bernapas pun tersekat-sekat, menjadikan pemandangan di depannya tontonan.

Entah paling dinantikan atau justru... Paling memilukan sepanjang masa. Ia bisa merasakan sebuah objek bagai berlari menghampirinya dengan kecepatan tinggi. Lagi-lagi pertanyaan terus bergulir menyesakkan kalbu, mau sampai kapan?

Cepat. Tabrak aja aku. Tak peduli, matanya terkunci beberapa saat hingga pupilnya melebar.

"Ada orang mau bunuh diri cok!"

"Tahan, woi!"

"Gimana caranya?!"

"Ogah! Itu dikit lagi juga nabrak gila lo. "

"Masih ada waktu cepetan, nggak usah cemen!"

Tidak. Ini tidak semudah yang dibayangkan. Ia bahkan sekarang bertanya-tanya siapa ingin mati mengenaskan tertimpa benda keras, dan meninggalkan traumatis pada jiwa-jiwa tak bersalah. "... Itu namanya sanksi sosial."

"Minggir woi!"

"Woi cewek! Masa depan lo masih panjang!"

Catching FeelingTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang