tujuh

26 5 0
                                    

Javas sudah menemukan langkah selanjutnya untuk balas dendam. Membunuh adik Ratama? Tidak. Javas membatalkan rencana itu. Membuat adik Ratama meninggal cukuplah gampang, tapi Javas enggan melakukannya. Ia lebih ingin ke membuat adik Ratama merasakan sakit hati oleh cinta.

Javas sudah menerawang andai kata ia mendekati Tiur, mencuri hati wanita itu kemudian akan ia tinggalkan Tiur begitu saja setelah wanita itu benar-benar menaruh hati padanya. Sama seperti apa yang pernah Javas rasakan ketika Kirana membuangnya dan lebih memilih menikah dengan orang miskin. Ya, bagi Javas yang hidupnya bergelimang harta, seorang Ratama Prabu yang hanya memiliki rumah kecil tentulah cocok disebut orang miskin. Apalagi profesi pria itu yang hanya seorang Dokter hewan. Tidak ada apa-apanya bagi Javas.

Pagi ini Javas memasuki gedung perkantoran Ayahnya dengan raut bahagia dan penuh percaya diri. Beberapa staf yang melihatnya memberinya sapaan. Kali ini Javas menanggapi sapaan dari bawahannya dengan full senyum berwibawa.

"Tumben lo hari ini fresh banget!" Seseorang dari samping menepuk pundak Javas.

Javas meliriknya. Ternyata Tirta. "Memang harus begini, kan?"

"Kayak bukan lo biasanya, Jav. Muka jutek lo kemarin-kemarin mana? Sampai bikin Soya mantan sekretaris gue hampir ngajuin resing segala."

Kedua pria yang sama-sama menggunakan jas dan sepatu pantofel mengkilap itu masuk ke lift untuk menuju lantai ruangan masing-masing.

"Mantan sekretaris lo tuh yang rese. Hobi banget ganjen."

"Naksir kali sama lo."

Javas enggan menanggapi. Inilah yang bikin Javas malas memiliki sekretaris lawan jenis. Pasti akan ada bumbu-bumbu rasa suka. Membuat Javas malas berinteraksi saja!

"So, lo udah moveon beneran nih dari Kirana?" Tirta sengaja menyenggolkan bahunya ke bahu sepupunya itu.

"Hmm." Javas rasa gumaman sudah cukup untuk menjawab pertanyaan cemooh dari Tirta.

"Terus, semalam lo ke pesta pernikahan Kirana?"

"Gue sibuk. Nggak ada waktu buat hadir di pesta yang nggak ada mewah-mewahnya sama sekali itu." Terdengar sarkas tapi Javas tak peduli. Dia hanya ingin mengeluarkan kata rendahan untuk pasutri baru itu.

Tirta mengernyitkan keningnya. "Lah semalam acaranya kan di hotel bintang lima, Jav! Lumayan mewah kok."

"Menurut gue mewah itu ya minimal di pantai bali lah. Atau, kapal pesiar."

Tirta memajukan bibir bawahnya sambil manggut-manggut. "Nanti mungkin kalo lo nikah, pestanya di atas awan ya, Jav."

"Hmm." Javas hanya bergumam. Sejujurnya keberadaan Tirta membuat moodnya yang semula indah sekarang menjadi berantakan gara-gara sepupunya ini menyebut nama Kirana dan pesta pernikahan wanita itu.

Sial! Bahkan Javas tak peduli pada pesta pernikahan Kirana. Mau semewah apapun jika Kirana bukan bersanding dengannya, pernikahan itu tetap tidak ada gunanya!

Javas masuk ke ruang kerja dan menghempaskan tubuhnya di kursi. Dia memanggil Soraya untuk meminta di sebutkan jadwalnya hari ini karena ia akan menambah jadwal sendiri. Pagi ini ia akan melakukan sidak dadakan.

Ia menjunjung tinggi kedisiplinan. Siapapun yang melanggar, akan Javas kenakan sanksi.

Javas mulai berkeliling ditemani Soraya di belakangnya. Dari divisi Manajemen, keuangan sampai akhirnya tiba di divisi data analyst. Ketika Javas masuk, ruangan yang awalnya gaduh oleh staf yang kurang kerjaan berjalan kesana-kemari, kini berubah menjadi tenang dan sok sibuk di depan layar monitor.

Mata Javas memperhatikan sekeliling mencari-cari celah kesalahan yang ada di divisi ini. Tidak ada kubikel kosong. Hingga mata Javas sampai pada kubikel yang ditempati Tiur. Javas mengernyit melihat keberadaan Tiur.

Astaga, bahkan disaat Kakaknya semalam baru melakukan pesta pernikahan, paginya Tiur tetap berangkat kerja tanpa terlambat? Javas tertawa pongah dalam hati. Langkahnya berjalan untuk lebih dekat dengan kubikel wanita itu. Bahkan Tiur tak gentar dan tidak berubah posisi sedikitpun saat Javas sudah berdiri di depan sekat kubikelnya. Wanita itu memiliki fokus yang cukup baik. Sesekali dia membenarkan letak kecamatanya yang sering merosot.

"Ehm!" Javas sengaja berdehem untuk mencari perhatian Tiur.

Benar saja, wanita berkacamata itu mendongak melihatnya. Ada gurat takut dan terkejut disana. Kenapa wajahnya tegang sekali? Javas sampai terheran-heran.

"Sudah berapa persen progres kerjanya hari ini?" Tanyanya sebatas formalitas sekaligus agar Tiur tak terlalu takut padanya.

Aah.. sepertinya Javas bisa memulai rencananya dari sini. Memberi sedikit demi sedikit perhatian untuk wanita itu bukan ide yang buruk.

"Sepuluh persen, Pak."

"Bagus. Lanjutkan. Oh ya, Kopi tidak baik untuk wanita, kamu tau?" Javas mengarahkan dagunya pada cup kopi yang isinya tinggal setengah di meja kubikel Tiur.

Tiur mengangguk meski samar.

"Lalu kenapa masih minum kopi?"

"Saya— "

"Soya!" Javas langsung menyela dengan memanggil sekretarisnya.

"Ya, Pak? Ada yang bisa saya bantu?" Sahut Soraya sigap.

"Buatkan teh hangat di pantry. Saya tunggu disini." Perintah Javas sembari mengambil tanpa permisi cup kopi milik Tiur.

"Hah?" Soya masih ngelag.

"Buatkan teh hangat di pantry kantor untuk— Tiur." Ulang Javas yang sebenarnya geram dengan sikap Soya.

"Tapi Pak— "

"Sudah sana cepat. Sekalian bawa ini." Lagi-Lagi Javas menyela ucapan orang. Pria ini menyerahkan cup kopi Tiur ke sekretarisnya.

Meski ogah, tapi Soraya tetap melakukan tugasnya.

Sembari menanti Soraya, mata Javas kembali berkeliling melihat sekitar. Javas yakin, dibalik orang-orang yang terlihat sibuk dengan keyboard komputer, mereka sebenarnya sedang memperhatikan Javas. Bisa di lihat dari mata mereka. Tapi Javas tak peduli hal itu. Kini pandangannya kembali jatuh ke Tiur. Wanita itu fokus bekerja meski bisa dilihat tangannya tremor saat mengetik sesuatu di atas keyboard. Untuk yang satu ini Javas tak mampu lagi menahan rasa untuk tak tertawa. Pria ini mencoba menghalau tawanya dengan menggigit bibir bawahnya sendiri.

"Loh? Pak Javas? Bapak sidak hari ini? Ya ampun, maaf Pak saya terlambat. Tadi ada problem dengan divisi Manajemen dan pagi-pagi harus segera di luruskan." Si manajer di ruangan ini menghampiri Javas.

Javas mengangguk tanpa banyak bicara.

"Sudah selesai sidaknya, Pak?"

"Sudah."

"Terus— "

Sebelum mendengar kalimat pengusiran dari manajer sialan di sampingnya ini, Javas lebih dulu menyela. "Saya sedang menunggu sekretaris saya selesai membuat teh hangat untuk Tiur."

"Tiur?"

"Ya."

Kemudian yang ditunggu-tunggu Javas akhirnya tiba juga. Soraya menyerahkan secangkir teh hangat pada Javas.

"Ini lebih baik. Jangan terlalu sering minum kopi." Ucap Javas ketika meletakkan cangkir teh di meja kubikel Tiur.

Wanita itu hanya terdiam tak tahu harus bersikap bagaimana lantaran baru kali ini mendapat perhatian lebih dari atasan. Oh bukan, lebih tepatnya dari pemilik perusahaan ini secara langsung. Apalagi tatapan orang-orang yang kini menatapnya seolah marah padanya.

"Te—terimakasih."

Javas hanya mengangguk kecil menanggapi ucapan terimakasih Tiur. Pria ini kemudian berjalan pergi meninggalkan tanda tanya besar di kepala para staf penghuni ruangan ini. Terutama Tiur.

Ketika Javas hendak membuka handle pintu, ia mendengar para staf lain mulai mencemooh Tiur. Mulai dari menuduh Tiur pelet Javas dan ada juga yang bilang kalau Tiur menggoda Javas. Javas tak mau ambil pusing. Pria ini cukup tersenyum dan melanjutkan langkahnya untuk sidak di divisi lain. Toh, itu bukan urusannya kan?

Another TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang