tujuh belas

283 13 0
                                    

Javas tidak terima dengan perlakuan Tiur yang sudah meriject panggilannya berkali-kali dan mengabaikan pesannya juga. Jadi, pagi ini Javas datang ke kantor lebih awal agar bisa menyamai jam kedatangan Tiur yang memang rajin sekali berangkat pagi bak anak sekolahan.

Dan benar saja. Baru di bicarakan, Tiur langsung muncul. Seperti biasa, tidak ada yang menarik dari penampilan Tiur. Rambut di kuncir rendah ke belakang, selalu menggunakan kacamata yang selalu bertengger di atas hidungnya dan wajah tanpa riasan. Penampilan yang begitu membosankan untuk di pandang. Tapi yah, Javas harus menahan rasa bosannya ini.

"Morning!" Sapa Javas langsung muncul begitu Tiur hendak melewatinya yang sengaja bersembunyi.

Kali ini sapaan Javas dan kemunculan pria itu tak membuat Tiur terkejut sampai terjungkal ke belakang. Sepertinya Tiur sudah merasa terbiasa dengan hobi Javas yang suka sekali muncul tiba-tiba seperti hantu. Tiur hanya menunduk sopan menerima sapaan Javas. Dalam hati Tiur sudah menduga-duga bahwa alasan Javas muncul pagi ini karena ia tak membalas pesannya dan mengabaikan panggilan telepon dari pria itu.

"Kemarin kamu mengabaikan pesan saya." Ujar Javas.

Nah kan. Sudah Tiur duga. "Maaf, Pak. Kemarin saya sibuk."

"Sibuk apa? Sampai saya telpon berkali-kali tapi malah di riject. Kamu—masih marah dengan saya?" Sejujurnya Javas jijik sendiri mendengar kalimatnya yang seperti orang merajuk pada pasangannya. Sungguh.

Tiur menggeleng cepat.

"Lalu? Saya butuh alasan dari kamu kenapa kemarin telpon saya di riject. Berkali-kali loh." Tekan Javas pada kalimat terakhirnya. Kedua tangan Javas yang di lipat depan dada membuatnya seperti sedang mengintrogasi ketat.

Alasannya karena Tiur tak ingin terlalu dekat dengan Javas. Ia tak mungkin menjawab seperti itu kan? Tentu saja kalimat seperti itu bisa saja melukai hati Javas. Tiur masih punya kewarasan untuk tidak melakukan hal yang membuat atasannya ini sakit hati. Bahkan sekalipun hal itu justru membuatnya tak nyaman.

Karena, setelah di pikir-pikir ulang kemarin hari. Tiur merasa salah menerima Javas menjadi temannya. Tidak ada pertemanan antara pemilik perusahaan dengan staf biasa seperti dirinya. Itu mustahil. Meski Tiur bisa melihat ketulusan dari mata Javas, tetap ia tak ingin melangkah lebih jauh lagi bersama Javas.

Lagi pula, pria di depannya ini sudah memiliki pasangan kan? Tiur pernah melihat Javas makan di restoran yang sama dengannya dan pria itu membawa seorang wanita. Cantik dan masih muda. Tentu saja muda. Pria seperti Javas ini biasanya yang di gandrungi oleh wanita-wanita muda. Juga, Javas bisa memilih wanita siapa saja untuk dijadikan pasangan. Pria itu punya kekuasaan yang bisa membeli apa yang dia inginkan.

Dan Tiur sekarang sedang berada di fase overthinking. Ia merasa tak pantas untuk dijadikan teman oleh pria mewah seperti Javas. Soal pria itu yang pernah terang-terangan ingin mendekatinya, mulai sekarang Tiur anggap omongan itu adalah angin lalu saja.

Jadi sebagai langkah awal, Tiur kemarin sengaja tidak membalas pesan Javas dan mengabaikan telpon pria itu.

"Karena saya sedang sibuk."

"Sibuk apa?"

"Itu bukan urusan anda. Maaf, permisi." Pamitnya begitu saja kemudian melangkah cepat untuk menghindar.

Javas sendiri dibuat kebingungan oleh sikap Tiur pagi ini. Jangan bilang kalau Tiur berubah pikiran! Tidak! Javas harus membuat Tiur lebih percaya padanya.

"Kalau begitu kita sarapan dulu." Ajak Javas sambil mengikuti langkah Tiur.

Tiur menghentikan langkahnya, ia memperlihatkan plastik transparan di tangannya yang berisi sarapan pagi untuknya sendiri. "Saya sudah beli sarapan."

Another TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang