dua puluh

830 26 0
                                        

"Tiur??" Ketukan pintu dan suara dari luar kamar membuat Tiur yang baru selesai menyisir rambut bergegas membuka pintu kamarnya.

Terlihat Kirana yang baru saja mengetuk pintu. "Ada apa, Mbak?"

"Malam ini kita makan malam di luar. Mbak pengin makan sate taichan yang di makan langsung di tempatnya nih." Ujar Kirana sambil mengelus perut ratanya.

Pandangan Tiur ikut melihat ke perut kakak iparanya. Tiur tersenyum senang. "Ciyeee yang lagi ngidam!" Selorohnya. Ia tau Kirana sedang mengandung. Baru beberapa minggu lalu di umumkan dan usia kandungannya sudah memasuki empat minggu. Masih kecil. Tapi berita itu mampu membuat kakak laki-lakinya itu sangat bahagia.

Kirana terkekeh. Adik iparnya ini, meski awalnya sulit di dekati untuk lebih akrab, tapi lama kelamaan ia dan Tiur mulai membiasakan diri untuk apa-apa bersama. "Iya nih, ceritanya lagi ngidam. Untung cuma pengin sate taichan! Bukan sate madura yang langsung dari maduranya! Oh ya, kamu siap-siap gih. Kita berangkat sekarang."

"Eumm... nggak deh, Mbak. Aku nggak ikut."

"Terus, gimana? Di rumah nggak ada makanan loh. Mau di bungkus aja? Emang kamu sekarang nggak lapar?"

Tiur menggeleng. "Nggak terlalu. Aku lagi males keluar, Mbak."

"Yaudah, nanti punya kamu di bungkus aja ya. Kalau lapar, itu di kulkas ada bolu pisang, bisa kamu makan."

"Iyaa... mbak. Makasih."

Kirana tersenyum dan mengangguk. Istri Ratama itu tak pernah memaksa Tiur untuk ini dan itu. Karena Kirana tau, Tiur tentu punya kesibukan dan alasan lain mengapa wanita itu tak mau ikut. Mungkin, bukan karena malas mengapa Tiur tidak ikut. Mungkin saja karena ada pekerjaan kantor yang menumpuk, namun Tiur menutupi hal itu dengan alasan malas keluar.

Tiur sendiri begitu Kirana sudah pergi, ia kembali menutup pintu kamarnya. Ketika di rumah, ia memang lebih banyak menggunakan waktunya di kamar. Sebelum atau setelah ada Kirana di rumah ini, kebiasaan Tiur tak pernah berubah. Wanita ini selalu lebih suka apa-apa di kamar daripada menonton televisi di ruang keluarga atau sekedar duduk santai di teras rumah.

Sebagai manusia yang memiliki sifat introvert seperti Tiur, kamar adalah tempat ternyaman baginya. Tidak ada rasa bosan dan jenuh. Bagi Tiur, di kamar ia bisa melakukan banyak hal yang tidak bisa orang lain lihat tanpa terkecuali Ratama. Di kamar, Tiur bisa menulis curahan hatinya lewat buku diary yang dari dulu di penuhi oleh nama Sagara.

Di kamar, Tiur bisa memandang foto wajah Sagara tanpa takut ada orang yang menganggapnya gila karena terlalu fokus memandang foto orang.

Ketika Tiur baru akan merebahkan tubuhnya di atas kasur untuk bermanja ria, suara ketukan pintu kamar dari luar kembali ia dengar. Meski kesal, Tiur tetap bangkit untuk membukakan pintu. Dari suara ketukannya, Tiur yakin itu bukan Kirana. Ketukannya kali ini berturut-turut tak henti seperti orang tidak sabaran. Dan Tiur tebak itu pasti Tama! Kakaknya.

"Alhamdulillah akhirnya di buka juga!" Ujar Tama sambil membuat gerakan mengelus dadanya sendiri.

Tiur merasa justru hal itu untuk menyindirnya yang terlalu lama membukakan pintu kamar. "Ada apa sih?" Tanyanya sok jutek.

Tangan jahil Tama mencubit pipi Tiur. "Jangan jutek-jutek ah. Nanti Saga kabur loh kalau lihat muka jutek kamu kayak sekarang."

"Sekarang nggak ada Saga!"

"Yaudah, Mas telpon nih si Saga."

Tiur memutar bola mata. Oh ya, sekarang ia sedang tidak menggunakan kacamata dan hal itu membuatnya sedikit sulit untuk melihat wajah Tama lebih jelas. Tiur malas bila harus menanggapi ocehan Kakaknya yang terlampau jahil dan iseng. Tama ini suka sekali membuat Tiur naik pitam. Tapi sangat sayang pada Tiur. Begitu pun sebaliknya.

Another TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang