delapan

27 3 0
                                    

Hari berikutnya, Javas mulai gencar melancarkan rencananya untuk mendekati dan mengenal lebih jauh sosok adik Ratama itu. Tak tanggung-tanggung, hari ini ia akan meminta Soya untuk memantau kegiatan Tiur.

"Bapak manggil saya?" Soya baru saja tiba di ruangannya dengan napas terengah. Bahkan wanita itu sampai mengelap peluhnya yang menetes di pelipis.

Javas mengernyit melihat kedatangan Soya. Habis darimana wanita di depannya ini? Kenapa keringatnya sampai sebanyak itu dan napasnya sampai terengah-engah? Tapi karena tak mau ambil pusing, Javas mengabaikan keanehan itu. Pria ini mengangguk dan memberi instruksi agar Soya duduk.

Wanita itu justru kebingungan dengan kode Javas. Dia melirik kanan dan kirinya kemudian mengedikkan bahu acuh. "Tumben nyuruh gue duduk." Gumamnya yang bisa di dengar oleh Javas.

Mulai terbiasa dengan segala sindiran dari Sekretaris anehnya itu, Javas mengabaikan gumaman Soya. "Saya ada tugas untuk kamu." Cetusnya langsung.

"Apa tuh, Pak?"

"Saya minta kamu untuk memantau aktifitas Tiur." Pungkas Javas mantap.

Seketika Soya memajukan tubuhnya. "Apa, apa? Ini— saya nggak salah dengar kan?"

Javas mencebik sambil membuang muka ke samping. Bagaimana bisa sepupunya itu betah bertahun-tahun dengan sektretaris modelan seperti Soraya ini sih? Javas saja yang baru dua bulan, rasanya hampir ingin meminta tolong pada sang Ayah untuk segera ganti sekretaris saja.

"Perlu saya ulang?" Sindirnya dengan nada bicara biasa saja namun mampu membuat nyali Soya ciut.

Melihat ada gurat emosi di wajah atasannya, Soya pun menggeleng. Wanita ini sebenarnya hanya ingin bercanda saja.

"Tapi Pak, kenapa Tiur harus di pantau?"

"Karena saya perlu informasi tentang dia sedetail mungkin."

Wajah Tiur seketika berubah horor. "Bapak naksir berat sama Tiur?"

Haruskah Javas menjawab jujur? Dan jawabannya adalah, "Ya!"

Mata Soya melotot sempurna. Napas yang tadinya teratur, sekarang jadi kembang kempis hanya gara-gara jawaban singkat yang keluar dari bibir Javas. Soya syok berat!

"Se—serius? Bapak— naksir sama cewek modelan begitu?"

"Hmm." Javas malas menanggapi sifat Soya yang berlebihan.

"Pak, sekali lagi saya ingatkan ya. Ini Tiur loh. Tiur yang mukanya nggak ada estetik-estetiknya. Tiur loh, Pak! Bapak yakin?"

"Memangnya kenapa?"

"Yaa nggak apa-apa sih. Tapi kan, barangkali Bapak lagi khilaf gitu jadi saya sadarkan."

"Jadi bagaimana? Kamu mau tidak membantu saya?"

"Sebenarnya saya males, Pak. Suruh nguntit si Tiur gitu. Dih, berasa dia artis aja! Tapi ya, karena yang nyuruh Bapak, saya mau deh. Terpaksa, daripada nanti di pecat. Susah cari kerjaan sekarang."

"Ya sudah, kamu boleh keluar sekarang. Jangan lupa selalu kirim informasi setiap ada pergerakan dari dia."

"Satu sih bagusnya Tiur. Dia punya kakak laki-laki ganteng." Umbar Soya dengan ekspresi menerawang.

Javas mengernyit dalam. "Maksud kamu, Ratama?" Sungguh ia sebenarnya enggan sekali menyebut nama musuhnya itu. Tapi karena Soya menyebut Tiur memiliki kakak laki-laki, membuatnya teringat satu nama yang tak akan pernah Javas lupakan kebrengsekannya. Ratama.

Soya justru mengangguk antusias dan wajahnya langsung berubah senang. "Bapak kenal Dokter Tama?" Tanyanya.

Sekali lagi, meski enggan Javas tetap mengangguk jujur pada Soya. "Tadi kamu bilang— dia tampan?"

Another TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang