Javas membukakan pintu mobilnya untuk Tiur keluar. Memberi senyuman yang paling menawan untuk wanita yang saat ini tengah membuka seatbelt kemudian keluar itu.
"Ayo!" Ajaknya tanpa ragu meraih tangan Tiur begitu saja, tanpa menunggu persetujuan Tiur, Javas lebih dulu menariknya untuk berjalan.
Sebagai karyawan bawahan, Tiur cukup tau diri. Ia tak tau caranya menolak, juga tak tau caranya untuk menerima. Jadi, ia biarkan saja Javas menggandeng tangannya hingga memasuki restoran mewah ini. Sepanjang perjalanan menuju meja yang akhirnya di pilih Javas untuk duduk, Tiur senantiasa menundukkan kepala. Sungguh, ia takut mendapati seseorang yang mengenalnya di tempat ini. Meski yah, kemungkinannya kecil lantaran tempat yang di pilih Javas ini sepertinya di buat untuk orang-orang berkelas.
Setelah keduanya duduk, Javas mengernyitkan keningnya melihat wajah Tiur yang semakin berantakan. Berantakan yang di maksud Javas adalah, ada beberapa lebam di kedua pipi Tiur dan itu sangat kentara sekali. Di tambah mata Tiur yang sembab seperti habis menangis. Karena penasaran dan takut-takut kalau ternyata Tiur memiliki penyakit kelainan yang tiba-tiba kambuh, akhirnya Javas memastikan kembali pada wanita itu. "Wajah kamu—beneran nggak apa-apa?"
Tiur mengangkat wajah melihat Javas. Tangan kanannya reflek menyentuh pipi kemudian mengaduh sendiri. Itu pasti bekas tamparan Carla. Tiur pikir bekasnya akan segera pudar karena hanya tamparan biasa saja. Itu baginya. Karena ia pernah merasakan tamparan yang lebih parah dari tangan Carla.
"Muka kamu kayak habis di tonjok. Atau—"
"Tidak, ini tadi saya nggak sengaja jatuh sampai mencium lantai, Pak."
Kedua alis Javas naik ke atas. Sanggahan yang tidak masuk akal menurut otak Javas yang tentunya lebih cerdas dari Tiur. Jatuh sampai mencium lantai, lukanya pasti tidak separah itu.
Javas menduga, kalau luka itu Tiur dapatkan dari salah satu rekan kerjanya. Mengingat kembali cerita Soraya kala itu yang mengatakan kalau rekan kerja Tiur tidak ada yang mau bergaul dengan Tiur. Sekretarisnya juga pernah bilang kalau Tiur sering di bully.
Untuk masalah itu Javas tak mau pusing-pusing ikut campur apalagi sampai mencari seseorang yang sudah membuat wajah adik Ratama jadi lebih jelek.
Dengan kacamata dan wajah naturalnya saja Tiur sudah jelek, apalagi di tambah dengan lebam-lebam menjijikan itu. Sangat tidak enak untuk di pandang. Perlu Javas akui kalau ia sebenarnya sangat malu jalan makan di luar bersama Tiur. Tapi yah, sekali lagi ini semua hanya demi balas dendam.
"Mau saya obati?" Tawarnya meski dalam hati berdoa agar tawarannya ini di tolak saja oleh Tiur.
Dan untung saja Tiur menggeleng tanda menolak tawaran baiknya. Syukurlah. Jadi Javas tidak perlu repot-repot meminta p3k kepada pelayan restoran.
Javas memesan beberapa menu makanan berat untuk makan siangnya, juga satu gelas minuman berwarna dan satu gelas air putih.
"Kamu mau makan apa, Tiur?" Tanyanya menyerahkan buku menu pada Tiur.
Pelan, Tiur meraih buku menu itu. Membacanya perlahan sambil melihat-lihat harga disana. Menurut Tiur tidak ada yang murah. Karena Tiur seseorang yang tau diri, ia memesan menu yang sekiranya bisa ia bayar dengan sisa uang bulanannya.
"Hanya itu?" Respon Javas begitu Tiur menyebutkan makanan yang wanita itu pesan.
Tiur mengangguk kaku.
"Pesan yang lain. Atau, mau saya rekomendasikan makanan disini yang sekiranya cocok untuk kamu?" Tawar Javas menatap Tiur penuh arti.
Kali ini Tiur menggeleng tegas dan cepat bahkan terlalu cepat. "Ti—tidak perlu, Pak. Saya pesan itu saja sudah cukup. Karena saya jarang makan siang."

KAMU SEDANG MEMBACA
Another Taste
General FictionJavas tidak terima ketika perasaannya diabaikan begitu saja oleh seorang model cantik bernama Kirana. Wanita itu justru memilih Ratama seorang Dokter hewan yang berpenampilan biasa saja dan dari kalangan orang bawah. Ketika mengetahui Kirana akan me...