dua belas

17 0 0
                                    

Pagi yang cerah, secerah wajah Javas ketika ia baru saja melihat sosok Tiur turun dari tukang ojek. Dengan senang hati Javas menunggu wanita itu, meski keberadaannya belum diketahui Tiur.

Ketika Tiur sudah hampir sampai ke tempatnya berdiri, Javas berbalik badan menunggungi Tiur agar tak terlihat. Barulah ketika Tiur sudah berjalan melewatinya, Javas menyusul wanita itu. Berjalan di samping wanita yang bahkan lebih memilih menundukkan kepala ketika jalan.

"Ehmm. Morning, Tiur!" Sapanya penuh ceria.

Tiur sampai menjauhkan diri ke samping karena terkejut oleh suara yang akhir-akhir ini membuatnya was-was. Wanita ini segera menguasai dirinya, mengangguk sekali untuk memberi hormat pada Javas. "Morning, Pak." Balasnya sedikit gagu.

Javas terkekeh geli melihat ekspresi berlebih dari Tiur. "Maaf ya membuat kamu kaget."

Hanya dibalas anggukan kecil oleh wanita ini.

"Mau ngopi pagi bersama saya di Cafe sebelah?" Ajaknya spontan.

"Kata Bapak kopi tidak baik untuk wanita."

Skak-mat! Javas terdiam sebentar sebelum tertawa malu. "Sesekali tidak apa-apa. Ayo?"

Tiur menunduk menatap sesuatu yang ia bawa di tangan kanan kemudian kembali melihat Javas. "Maaf, Pak. Tapi saya sudah beli kopi di jalan." Tolaknya sembari mengangsurkan plastik berisi cup kopi yang ia beli rutin setiap berangkat kerja.

Javas memperhatikan logo plastik di tangan Tiur. Tiur membeli kopi di Cafe dekat kantor. Sepertinya itu Cafe andalan Tiur, karena setiap Javas sidak ia selalu melihat cup berlogo sama seperti di plastik Tiur saat ini.

"Yaa sudah kalau begitu, saya ganti ajakannya saja. Bagaimana kalau nanti siang makan di luar? Ayolah."

"Maaf Pak, saya—"

"Jangan ucapkan kalau itu penolakan. Tiur, bukankah saya sudah jujur ke kamu kalau saya serius ingin mendekatimu? Sesuatu hal yang sudah keluar dari mulut saya, tidak bisa dianggap remeh."

"Tapi saya tidak bersedia." Balas Tiur cepat.

Tenang. Javas mencoba menenangkan dirinya sendiri agar tidak berbuat gegabah seperti, mencelakai Tiur di tempat terbuka mungkin? Meski sebenarnya ingin sekali Javas lakukan. Sungguh, ia membenci penolakan. Apalagi ini adik Ratama yang menolak. Tidak tau saja Tiur bahwa Javas melakukan ajakan itu untuk hal tak terpuji.

"Kalau begitu saya permisi, Pak." Putus Tiur dengan sisa keberanian yang masih tersisa. Karena faktanya Tiur sudah sangat ketakutan. Ia menundukkan kepala sebagai tanda permisi kemudian melangkah pergi begitu saja.

"Saya tidak peduli dengan penolakan kamu! Saya akan ke ruangan kamu sebelum jam istirahat." Seru Javas yang kini sudah tak peduli lagi dengan para pasang mata yang menatapnya dengan Tiur.

Pun Javas tak mau ambil pusing ketika mereka—para bawahannya berbisik-bisik membicarakannya. Javas menelan mentah-mentah rasa malunya hanya untuk melancarkan rencana busuknya.

Tiur menghentikan langkahnya. Wanita itu terdiam di tempatnya berdiri, enggan berbalik badan sampai akhirnya Javas menghampiri dan berdiri lagi di samping Tiur. "Saya tidak suka penolakan, Tiur. Jadi kamu harus mau. Sampai ketemu nanti siang." Bisik Javas tepat di daun telinga Tiur. Setelah itu Javas meninggalkan Tiur yang masih setia mematung.

Jantung Tiur berdetak tidak normal. Tangannya pun dingin. Apalagi saat Javas membisikkan kalimat tajam itu. Bagaimana mungkin Tiur menerima tawaran makan siang bersama anak pemilik tempat kerjanya ini? Bahkan dalam mimpi Tiur pun tak pernah ada skenario seperti ini. Didekati anak pemilik perusahaan.

Tiur menghembuskan napas lelahnya. Ia menggelengkan kepala beberapa kali untuk menetralkan pikirannya kemudian kembali melanjutkan perjalanannya ke ruang kerja.

Another TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang