lima

1K 51 0
                                    

Sebulan sudah Javas merutinkan diri berangkat ke kantor sang Ayah. Tidak ada yang spesial baginya, bahkan menurut Javas kegiatannya terlalu monoton. Dia bosan duduk, meeting dan bertemu dengan orang-orang yang mengajak bekerja sama dengan JCI.

Seperti sekarang ini, Javas tengah duduk di kursi kerjanya sambil sibuk membaca berkas laporan yang akan dirinya bubuhi tanda tangan.

"Itu event bulanan JCI, Pak. Nggak usah di baca lagi, tinggal kasih tanda tangan saja." Ujar Soya yang sudah berdiri lebih dari sepuluh menit hanya untuk menunggu Javas selesai membaca berkas laporan yang isinya sampai 30 lembar kertas itu.

Javas tidak menanggapi. Pria itu tetap membaca sampai selesai kemudian menandatangani berkas itu.

Soya akhirnya bisa bernapas lega. "Terimakasih, Pak." Ucapnya dengan senyum lima jari. "Siang nanti Bapak mau makan apa?"

"Saya tidak makan." Jawab Javas singkat. Padahal faktanya, siang nanti ia akan makan siang bersama Chandra.

"Baik, kalo begitu saya permisi." Kali ini Soya mengakhirinya dengan kedipan mautnya yang membuat Javas harus terang-terangan memutar bola mata jengah.

Ada kelainan apa dengan sekretarisnya ini sih? Kenapa suka sekali mengedipkan sebelah mata, batin Javas.

Ketika jam makan siang telah tiba, Javas keluar dari ruangannya. Ia melirik sosok Soya yang masih sibuk dengan komputer. "Saya mau keluar. Kalau ada masalah apapun tolong handle dulu." Pesannya tanpa menunggu sahutan Soya ia langsung melipir pergi ke lift.

Javas dengar suara makian dari Sekretarisnya, tapi ia tak peduli. Sepertinya ia sudah mulai terbiasa dengan sikap Soya yang suka sekali memakinya dari belakang.

Beberapa staf menyapanya dan Javas hanya mengangguk, senyum seadanya. Untuk yang satu ini ia belum terbiasa.

"Hah? Tono sakit lagi? Terus gimana, Mbak? Mana acaranya seminggu lagi... ah, atau nanti sepulang praktik Mas Tama suruh ke rumah Mbak Kirana aja? Mbak di rumah kan? Atau di apartemen?"

Javas menghentikan langkah kakinya dan terdiam memandang wanita yang baru saja melintas di depannya tanpa permisi. Sialan, lancang sekali wanita itu!

Tapi bukan itu yang membuat Javas menghentikan langkahnya. Pendengaran Javas masih normal. Sangat jelas ia tadi mendengar wanita itu menyebut nama Tono, Tama dan Kirana. Nama-nama yang sangat ia kenal. Tono? Bukankah itu nama kucing kesayangan Kirana? Ada kaitan apa mereka dengan wanita itu? Lantas, kenapa wanita itu bisa mengenal Kirana?

Dilanda penasaran dan untuk memastikan, Javas mengikuti langkah wanita yang sudah mematikan sambungan teleponnya itu. Tapi sepertinya nasib baik berpihak pada wanita itu karena tiba-tiba ponsel Javas bergetar sehingga membuatnya berhenti mengikuti wanita itu. Panggilan telepon dari Chandra. Astaga!

Ia bahkan hampir lupa siang ini akan menemui Chandra.

"Ya... sebentar lagi gue sampai!" Ucap Javas langsung setelah ia mengangkat telepon dari nomor Chandra kemudian ia mematikan sambungan begitu saja. Sudah menjadi ciri khas Javas sekali.

"Lama betul lo, Jav!"

"Jakarta macet." Sahut Javas tak mau pusing-pusing mencari alasan mengapa ia bisa terlambat setengah jam.

Chandra mencebik mencemooh, kemudian tangannya mendorong sesuatu di atas meja. "Undangan pernikahan dari Kirana. Dia nitip ini ke Citra tadi pagi."

Javas terdiam. Matanya enggan melirik melihat ke arah undangan yang sudah di hadapannya.

"Lo nggak kepo dia nikah sama siapa?" Tanya Chandra.

"Nggak penting!"

"Oh, udah move on nih ceritanya? Nih, gue kasih tau aja. Kirana nikah sama Dokter hewan, namanya..." Chandra mengambil kembali undangan yang tadi sudah dia sodorkan ke Javas, "Namanya Dokter Ratama Prabu. Cocok lah mereka, dia kan anak kalangan medis, bapaknya Dokter, Maknya Dokter, kakak dia Bidan kan ya, Jav? Emang deh, jodoh nggak akan kemana, meski Kirana bukan Dokter tapi dia cari yang Dokter biar melengkapi."

Another TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang