tiga

1.2K 54 0
                                    

Sudah Javas duga, Kirana tidak akan pernah tega untuk memblokir nomernya. Bahkan, wanita itu masih sudi untuk mengangkat panggilan telepon darinya. Lucu ya, padahal kemarin malam Kirana sangat memohon untuk Javas jauh-jauh darinya.

Javas baru saja mematikan sambungan teleponnya dengan Kirana. Wanita itu baru menyelesaikan syuting iklan Shampoo. Masih teringat jelas suara Kirana tadi sangat bahagia karena telah menyelesaikan proses syuting iklan. Dan akan berlanjut pemotretan.

Bagaimana jadinya nanti jika Javas benar-benar berjauhan dan tidak berkomunikasi dengan wanita semacam Kirana? Rasanya pasti membosankan.

Siang terik hari ini, Javas mendapat ide bagus untuk Kirana. Javas akan menemui wanita itu di tempat pemotretan yang tempatnya sudah Javas ketahui di luar kepala. Apa sih yang tidak Javas tau soal Kirana? Pria ini bahkan paham betul siklus menstruasi Kirana.

Sebelum bersiap pergi, ia lebih dulu menyuruh orang untuk membelikan makan siang dan minuman yang cocok untuk siang yang panas ini. Di pikiran Javas sekarang sudah membayangkan bagaimana reaksi Kirana ketika ia memberinya kejutan.

Makanan yang Javas ingin sudah ada di tangan, sekarang Javas siap menyusul Kirana di tempat pemotretan.

Memasuki studio yang sebagian orangnya sudah tau betul siapa Javas dan mau apa Javas di tempat itu. Javas hanya butuh melangkahkan kaki ke ruang pemotretan Kirana berada tanpa repot-repot meminta izin dulu.

Sangat kebetulan sekali pemotretan Kirana sudah selesai dan fotografer bilang Kirana ada di ruang make-up. Javas bergegas ke ruang make-up.

"Hai!" Sapa Javas sumringah begitu membuka pintu ruangan serba putih penuh lampu dan alat rias itu. Kirana sedang sendirian duduk di kursi rias sambil menghapus make-up. Sebentar lagi wajah polos Kirana akan terlihat. Wajah yang sangat Javas kagumi. Bagi Javas, Kirana tanpa make-up sudah sangat cantik dan Kirana dengan make-up adalah seperti bidadari tanpa sayap. Berlebihan memang.

"Javas? Kamu ngapain kesini?" Kirana menatap pantulan tubuh Javas lewat cermin di depannya sambil terus membersihkan make-up di wajah menggunakan micaller dan kapas.

"Bawain makan siang! Kita makan siang disini. Berdua." Sebenarnya sangat tidak cocok nada bicara Javas dengan wajah pria itu yang cenderung galak.

"Aku nggak minta."

"Aku inisiatif sendiri. Kamu fokus aja bersihin muka. Aku suapi." Javas mulai menyiapkan makanan yang ia beli.

"Javas, stop!" Tiba-tiba Kirana memekik dan mengalihkan fokusnya ke Javas.

"Why?" Javas memandang bodoh kearah Kirana.

"Jujur, sebenarnya aku sudah muak dengan kamu, Jav!" Ungkap Kirana pada akhirnya. Ia berkata tepat di depan Javas dengan posisi yang sangat dekat.

Pria ini terdiam. Wajahnya mengeras. Javas akui dia syok mendengar ucapan Kirana barusan. "Na, kita bisa—"

"Bisa apa? Kamu selalu mengekangku, Javas. Padahal kamu bukan siapa-siapa aku. Aku bahkan sudah menolakmu dua kali. Dan apa? Kamu masih memburuku. Lalu aku harus bagaimana? Aku nggak blokir nomor kamu, terima telepon kamu itu semua karena aku takut kamu kecewa."

"Dan dengan kamu bilang kayak gini memangnya nggak bikin aku kecewa, Na?"

Kirana mengangguk. "Sekarang aku nggak peduli dengan kekecewaan kamu, Jav. Aku butuh bahagia. Jujur, aku sudah menyukai orang lain."

Serta merta Javas membuang begitu saja kotak makan di tangannya. Dia menatap intens wajah yang baru saja mengatakan kejujuran padanya. "Siapa? Siapa pria itu? Siapa pria yang sudah buat kamu seperti ini ke aku, Na? Siapa??"

Another TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang