sepuluh

30 2 0
                                    

"Javas?" Amanda berseru kegirangan begitu melihat anak sulungnya memasuki dapur. Wanita itu tersenyum hangat dan bergegas menyambut Javas.

Javas sendiri hanya mengangguk kecil saja. Dia sengaja mampir ke dapur untuk menemui sang Mama. Javas merasa, jika pulang ke rumah dan belum melihat wajah Amanda, rasanya seperti ada yang kurang. Dia mencintai sang Mama. Tentu saja. Tanpa Amanda, Javas tidak akan pernah merasakan bagaimana rasanya cinta tulus seorang wanita.

"Sudah menemui Dad?" Tanya wanita itu setelah berhasil memeluk tubuh kekar si sulung.

Javas mengangguk lagi. Pria ini sejatinya malas bicara. Bagi Javas, fungsi mulut adalah untuk makan. Untuk bicara hanya seperlunya saja. Dan tentunya untuk menyatakan cinta pada Kirana. Aah Kirana lagi, Kirana lagi. Mengapa harus ada nama wanita itu sih!

"Jadi, benar yang dikatakan Dad? Kamu membuat gaduh kantin kantor?"

Kali ini Javas mengangkat bahu acuh. Entah apa yang dikatakan sang Ayah kepada Ibunya ini. Bisa saja Jeremy mengatakan hal berbeda pada Amanda mengenai 'membuat gaduh kantin kantor'. Bisa saja Jeremy melebih-lebihkan ucapannya. Javas tau sekali pribadi Ayahnya.

"Dad bilang apa saja ke Mama?" Tanyanya sambil berjalan lambat untuk duduk di kursi counter yang langsung diikuti oleh Amanda.

"Dad bilang kalau kamu mencoba mendekati salah satu karyawan disana. Benar?"

"Lalu?" Todong Javas meminta Amanda untuk melanjutkan apa saja yang Jeremy katakan.

Amanda mengernyit. "Apanya yang lalu? Dad hanya bilang begitu."

Javas masih menampilkan ekspresi wajah datarnya. Tebakannya ternyata salah. Ayahnya tidak menjelaskan identitas wanita yang coba Javas dekati kepada sang Mama.

"Mama menunggu jawaban kamu. Benar yang dikatakan Dad?"

"Hmm." Gumam Javas.

Amanda tersenyum haru. Wanita itu menepuk kedua bahu anak sulungnya dengan bangga. "Akhirnya anak Mama ini sudah move on dari cinta tak terbalasnya! Ngomong-ngomong, kenapa kamu tertarik sama karyawan itu? Dia ada jabatan disana, Jav?"

Andai Mamanya tau alasan Javas mendekati wanita itu. Pasti senyum secerah matahari di wajah sang Mama langsung berubah menjadi aura murka. "Hanya Junior data analyst."

Kepala Amanda manggut-manggut. "Nggak apa-apa. Yang penting kalian cocok." Inilah yang menjadi perbedaan antara Ayahnya dan sang Mama. Jika Jeremy meminta Javas untuk mencari pasangan yang minimal memiliki 20% saham di keluarga, maka Amanda justru tidak terlalu mementingkan aset pada siapapun wanita yang akan Javas jadikan pasangan. Wanita itu hanya akan sebatas bertanya apa pekerjaan calon pasangan Javas saja. Dan, kalaupun bukan dari kalangan kelas atas, Amanda tidak masalah.

"Oh ya, Mama hari ini masak loh. Karena ada feeling kalau anak Mama yang jarang pulang ini pasti kesini! Kamu belum makan kan? Ayo Mama temani makan." Ajak Amanda.

"Bang Javas mau makan di luar sama aku, Mama!" Suara lantang si bungsu yang justru menyahut.

Jeni, gadis itu melangkah cepat menghampiri Mama dan Kakak laki-lakinya. Wajahnya sudah tertekuk sebal dengan tatapan mata mengarah menatap tajam Javas. "Janji harus di tepati!" Katanya pada Javas.

Amanda yang melihat raut berbeda di wajah Jeni kini kebingungan. "Kalian sudah janjian mau makan malam di luar malam ini? Betul, Javas?"

Javas malah menggelengkan kepala dan sibuk pada ponselnya.

"Nggak, Ma. Tapi anak sulung Mama ini dulu pernah janjiin aku traktir makan di luar kalau sudah resmi bekerja di perusahaan Dad. Dan aku mau menagihnya malam ini. Ayo!"

Another TasteTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang