Ada hantaman yang berbeda ketika kelima orang itu tiba di gunung yang mereka tuju. Berbeda dari sebelumnya, warna serba hijau dari pepohonan kini berubah menjadi cokelat tandus. Debu berterbangan tidak karuan, embusan angin kencang menerpa tubuh ringan yang baru saja datang dari sudut dunia yang lain.
Ada respons yang sama dari kelima orang itu, yaitu mengangkat tangan untuk menutupi bagian wajah mereka. Mata pun tidak bisa melihat dengan jelas.
Dengan satu teknik khusus dari Audr, sebuah gelembung tercipta dan debu-debu yang melayang di sekitar mereka langsung jatuh.
"Sialan, debu-debu ini masuk ke dalam pakaianku," celetuk Vann sembari merogoh ke dalam pakaiannya.
"Hah." Aesa ternyata sudah lebih mempersiapkan diri, begitu juga dengan Igvir yang melindungi Elsa dengan sihir sederhana miliknya. "Kau seharusnya bisa mempersiapkan diri dengan lebih baik, Vann," tambahnya, seraya membersihkan sisa-sisa debu yang terselip ke dalam pakaiannya.
Vann melempar tatapan sinis pada Aesa. "Kalau saja aku bisa menggunakan sihir, mungkin nasibku akan sedikit lebih baik."
Audr perlahan menurunkan kewaspadaannya, dan pada akhirnya membuka mulut. "Gelembung ini tidak akan bertahan lama," katanya. "Ingat apa yang kita cari, dan karena keadaannya seperti ini maka kalian harus menggunakan indera pendengaran dan penglihatan dengan lebih baik."
"Nyanyian burung bulbul," ujar Elsa untuk mengingatkan.
Namun belum sempat ada yang berkata lagi, telinga milik Igvir dan Aesa bergerak secara bersamaan seperti merespons ke sesuatu—lebih tepatnya ke suatu arah.
Kedua makhluk berbulu itu saling menatap sebelum melanjutkan tatapan tersebut ke satu arah lain yang sama. Tatapan mereka berdua terlihat cukup jauh ke celah antara dua gunung kembar yang kini mengitari mereka. Sangat tinggi, namun tidak mustahil.
Seperti sebuah sinyal untuk ketiga orang lainnya, Igvir dan Aesa mulai berjalan terlebih dahulu untuk memimpin. Kedua makhluk berbulu itu masih memiliki pendengaran yang nyaris sempurna meski dalam kondisi yang tidak bersahabat seperti ini.
Dan sejauh mata memandang, tidak ada makhluk hidup yang bisa ditemukan. Tanahnya keras, juga licin karena pasir yang terus membanjiri semua hal yang dapat dilihat. Tidak ada yang tahu mengapa, namun yang jelas ada sesuatu yang menarik perhatian Igvir dan Aesa.
Sementara itu, Audr merasakan sesuatu yang lain. Walau sedikit tidak yakin, ada pancaran energi yang jumlahnya kecil yang bisa dia deteksi dari suatu tempat di gunung ini. Rasanya hampir sama seperti apa yang dia miliki, namun dalam level dan tempat yang berbeda.
"Hati-hati dengan kaki," Audr kembali berbicara. "Kalian tidak tahu apa yang ada di balik pasir yang kalian pijak."
"Hmm, aku sedikit penasaran," celetuk Elsa, dan mendapat perhatian keempat lainnya.
"Penasaran apa?" Tanya Aesa yang juga menoleh sedikit ke belakang.
"Bagaimana gunung ini bisa memiliki persediaan pasir yang tidak terbatas? Dan pasir-pasir ini sepertinya berasal entah dari mana dan berakhir kembali ke tempatnya berasal. Seperti... pasir-pasirnya hanya mengelilingi gunung ini tanpa pernah meninggalkannya."
Audr terhenti satu langkah, lalu kembali mempercepat jalannya.
"Kau tahu sesuatu?" Tanya Igvir.
"Tidak," jawab Audr. "Aku hanya mengingat sesuatu... yang lain."
"Mengingat apa?" Kini ganti Elsa yang bertanya. Dia tahu bahwa Audr tidak akan berkata apa pun jika tidak berkaitan dengan apa yang dibicarakan sebelumnya, jadi hal itu pasti berhubungan dengan apa yang dia tanyakan.
"Aku ingat bahwa gunung ini tidak seperti apa yang kita lihat sekarang."
"Kau bisa menjelaskannya?" Ucap Igvir, kakinya sempat terhenti di sebuah pijakan curam sebelum kembali melanjutkan dengan langkah lainnya dengan lebih berhati-hati. "Hati-hati dengan pijakan yang ini," dia memperingatkan.
"Gunung ini dulu seperti gunung kebanyakan pada umumnya. Kalian lihat bangkai-bangkai dari pohon yang hanya tinggal batangnya itu? Itu bukti bahwa dulu ada kehidupan di sini, lengkap dengan fauna dan flora."
Vann dan Elsa mengedarkan pandangan mereka ke beberapa arah. Meski susah untuk mendeteksi adanya jejak bekas pepohonan—dan sebagiannya terendam pasir atau sudah runtuh—namun mereka bisa melihat apa yang perlu mereka lihat.
"Ah, benar juga..." Elsa menyetujui. "Lalu apa yang terjadi? Kau tahu sesuatu mengenai itu?" Dia melanjutkan.
"Kalau aku tidak salah ingat, gunung ini berubah ketika ekspansi Treaston mulai memasuki wilayah besar Nazrrog. Perubahannya seperti sebuah pertanda mengenai ketidakpastian yang ada di masa depan. "
"Itu artinya hal tersebut sudah lama terjadi. Pantas saja tidak ada orang yang mengingatnya."
"Tapi, bagaimana bisa kau bilang 'mengingatnya'?"
"Itu tidak penting. Sekarang yang penting adalah berhati-hati dengan apa yang kalian pijak, karena perjalanan kita sepertinya masih panjang," Igvir menyela sebelum pembicaraan ini menjadi hal yang membuat mereka celaka karena tidak berhati-hati.
"Igvir benar. Mari kita berfokus dengan tujuan kita untuk saat ini dan jangan khawatirkan hal lainnya."
Perjalanan mereka bisa dikatakan cukup lancar selama beberapa menit kemudian, lalu muncul angin dari atas yang cukup kencang, membuat mereka harus bergandengan tangan agar tidak terjatuh.
Pada saat itu juga, nyanyian yang Aesa dan Igvir dengar menjadi sedikit rancu. Ada beberapa nyanyian yang tiba-tiba muncul dari beberapa sumber sekaligus, dan tidak ada dari keduanya yang dapat memastikan nyanyian mana yang harus mereka ikuti.
Namun sial untuk mereka, sebelum dapat memastikan, ada sebuah gelombang pasir yang cukup besar menyapu mereka tanpa peringatan. Tubuh mereka terendam pasir – dan dari dalamnya, seolah ada sesuatu yang menarik masuk dan mencabik-cabik tubuh mereka dari jauh.
Hanya saja, itu perumpamaan yang terlalu signifikan untuk disadari dengan cepat oleh mereka.
~ a i d ó n i ~
Saat tersadar, kelima orang itu sudah berada di tempat yang berbeda—bukan berbeda, mereka masih berada di gunung itu, namun di tempat yang tidak semestinya.
Ketika Elsa membuka mata, terdengar sebuah suara yang merdu di antara deru pasir dan angin yang bersahut-sahutan. Jika ini adalah nyanyian yang dimaksud oleh Sienna... atau Oracle, maka suara ini adalah hal yang paling indah dalam segala kekacauan yang sedang terjadi saat ini. Bahkan untuk tempat di mana mereka berada sekarang.
"Nyanyian ini..."
"Ini adalah nyanyian burung bulbul," sahut Audr. "Namun tidak ada wujud dari burung bulbul yang bisa kita lihat. Dan rasa penasaran yang kumiliki sedikit tersampaikan dengan badai pasir yang baru saja menyapu kita."
"Hmm? Mengapa demikian?" Selidik Igvir. "Aku rasa badai itu bukan sebuah kebetulan, kan?"
Audr mengangguk. "Ramalan Oracle," timpalnya. "Jika ramalan ini sudah tertulis dan memang akan terjadi, maka kita tidak perlu cemas," tambahnya. "Tapi itu hal lain. Rasa penasaranku terletak pada energi yang dikeluarkan seirama dengan nyanyian burung bulbul ini."
"Apa yang kaumaksud adalah..."
"—Burung bulbul ini adalah aidóni. Seseorang dari ramalan babak ketiga Oracle, dan jika aku benar..."
"Benar?"
Audr dengan cepat menggeleng dan mengelak. "Aku tidak ingin berkata apa pun sebelum menemukan kebenarannya."
Setelah membersihkan pasir yang masuk ke dalam pakaiannya, Vann kemudian berkata, "Kalau begitu, apakah kita bisa mengikuti suara nyanyian ini dan menemukan apa yang menjadi tujuan kita kemari?"
"Itu ide yang bagus, Vann. Kita tidak boleh membuang waktu lagi," timpal Aesa. "Aku rasa suaranya berasal dari sana."
Aesa menatap ke sebuah lekukan di arah matahari. Nyanyian itu cukup jelas untuk terus didengar, seolah tidak akan berhenti dan lelah sekali pun. Seperti nyanyian yang... abadi.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Nightingale Whisperers
Fantastik[Book Three: The Chosen Saga] [a i d ó n i] [proses revisi] [Complete] [harap membaca The Runaway Chosen & The King's Move terlebih dahulu] . ::.. Korrona runtuh, pada akhirnya. Hal itu tidak dapat dielakkan. Sudut Nazrrog semakin menyempit selagi K...