2 - No Doctor Again

10.7K 1.2K 122
                                    

AUTHOR POV

"Selamat pagi, chagiya. Apa dia sudah bangun?" seorang pria gagah, berdasi dan sudah menggunakan jas kantornya menghampiri istrinya yang berada di meja makan, yang baru saja selesai menyiapkan sarapan untuk suami dan anaknya.

"Pagi, yeobo." istrinya mengecup sekilas bibir suaminya dan dibalik sorot mata perempuan paruh baya itu tersimpan kesedihan yang tidak pernah hilang sama sekali.

"Dia masih berada di kamarnya. Aku sudah menyuruhnya untuk turun dan sarapan, dia hanya menjawab iya namun sampai saat ini belum juga turun. Pintu kamarnya di kunci jadi aku tidak bisa masuk." tuturnya dengan lemah.

Satu-satunya pria yang menjadi kepala keluarga di rumah itu menghembuskan nafasnya. "Aku akan naik. Semoga dia mau turun." pria itu berbalik dan berencana untuk memanggil kembali anaknya agar mau sarapan dengan mereka. Namun sebelum dia melangkah, seseorang baru saja selesai menginjakan anak tangga terakhir dan berjalan menghampiri keduanya.

"Selamat pagi, sayang." sambut pria itu dengan riang. Berbeda ketika berbicara dengan istrinya tadi. Dia kali ini menggunakan nada yang ceria.

"Pagi, Appa." jawab gadis yang baru saja turun dari kamarnya itu. Pagi ini dia tidak bersemangat. Jika bukan karena perutnya yang lapar dia sebenarnya enggan untuk turun.

"Ayo sayang, duduk. Eomma sudah memasakan makanan kesukaanmu." dia melirik sekilas ke meja makan. Sudah tersaji berbagai makanan untuk sarapan namun pandangannya fokus pada satu panci besar berisi satu ekor ayam dengan kuah yang akan memanjakan tenggorokannya.

"Samgyetang." dia tersenyum seolah melupakan rasa kesal dihatinya sejak kemarin. Dia duduk dan terus tersenyum karena sudah tidak sabar segera menerima sarapan itu dan mempersilahkan masuk ke dalam perutnya.

Sepasang suami istri itu saling bertatapan dan tidak menyia-nyiakan kesempatan ini. Mereka juga ikut duduk dan tentu saja sang istri memindahkan nasi dan berbagai lauk pauk ke dalam piring suami dan anaknya.

"Sebelum makan Jennie harus apa?" ucap pria yang ada di sebelahnya. "Berdoa." ucap gadis itu. Dia tersenyum lantas segera memejamkan matanya dan mengepalkan tangannya. Meminta pada Tuhan berkat untuk makanan yang akan dia santap. Seperti itulah yang diajarkan oleh Appa dan Eommanya sejak kecil. Dan sampai saat ini dia belum pernah melewatkan doa makannya sekalipun.

Mereka bersama-sama menikmati hidangan yang sangat lezat. Sesekali ayah sang gadis bertanya apa yang ini dia tambah ke dalam piringnya, namun gadis itu hanya menggeleng.

"Semalam keluarga Park menghubungiku." ucap wanita paruh baya itu tiba-tiba.

"Lalu? Apa yang mereka sampaikan?" antusias sang ayah tidak diragukan lagi. Dia yang sangat excited menerima berita ini.

"Chaeyoung sudah bertanya pada temannya. Ternyata dokter itu sudah berada di Korea. Dan seharusnya pagi ini Jennie sudah bisa konsul dengan dokter itu karena mereka mengatakan bahwa seminggu ke depan jadwal dokter itu tidak padat."

Merasa mendengar kata dokter dalam pembicaraan orangtuanya, gadis itu menggeleng. Dia menaruh sendok dan garpu yang sebelumnya tidak lepas dari kedua tangannya. "Tidak. Jennie tidak mau bertemu dengan dokter lagi. Tidak." ucapnya sambil terus menggelengkan kepalanya. Dan seperti biasanya, setiap dia merasa takut dan terancam, serangan paniknya mulai datang. Nafasnya mulai tidak beraturan dan dia merasa sangat ketakutan. Matanya kini berkaca-kaca.

"Sayang. Tenang, nak. Tidak apa-apa. Tidak ada yang perlu kau takutkan, Appa disini, sayang." pria yang disampingnya memeluk gadis cantik itu. Dia sekarang mulai menangis dan terisak.

HONEY FOR BABY - JENLISATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang