Awalnya hal ini tidak ada masalahnya bagi Jennie. Namun, lama kelamaan hal ini membuatnya jengkel. Hanya terduduk di kursi dengan tangan dan kaki terikat benar benar membuatnya muak.
Jujur dia sanggup berada disini selama sebulan jika tangannya di biarkan terlepas. Bahkan bekas merah sudah muncul di tangannya. Sang penculikpun hanya diam dan melakukan hal yang di inginkannya.
"Bisakah lepaskan aku?" Ucapnya sekaan tidak ada rasa takut. Bukan tidak ada rasa takut, namun Jennie memilih menyembunyikannya.
Dalam pikirannya, jika dia menunjukan rasa takutnya penculik itu akan sangat senang. Yang dia pikirkan sekarang hanya bagaimana caranya bebas dan menikmati masakan Chaeyoung dan Jisoo lagi.
"Tidak, Karena kau tawananku sekarang." Ucap pria itu dengan santai. Jennie berdecih lalu membuang ludahnya kelantai.
"Ya! Kau ingin uang? Eoh?" Lelaki itu terbahak mendengar ucapan Jennie. Meraih Lacinya dan mengeluarkan sebuah pistol berwarna silver dengan sedikit nuansa hitam.
Jennie tercekat. Tidak ada dibayangannya bahwa penculiknya ini memiliki senjata api. Memang bodoh, Jennie beranggapan bahwa lelaki satu ini masi bisa di hadapinya.
Perlahan lahan kaki itu mulai mendekat ke arah Jennie. Detukkan sepatunya terdengar jelas. Pistol itu di acungkannya ke kepala Jennie yang membuat Jennie mendongak dengan sendirinya.
"Aku hanya ingin, anakku."
.....
"Jennie belum ada kabar?" Jisoo membuka obrolan. Chaeyoung hanya mengerdik tidak tahu. Sebenarnya dia sempat khawatir, namun mengingat bahwa jadwal seorang Kim Jennie sangat sibuk dia melupakannya.
Tak di pungkiri rasa gusar datang kedalam dada mereka. Namun mereka berusaha mengacuhkan dan mencurahkan semuanya. Hal hal yang berhubungan dengan kemungkinan kemungkinan buruk mereka enyahkan dari pikiran.
Begitu juga Lalice. Pikirannya sangat kalut sekarang. Seulgi, Jennie, benar benar mengusik pikirannya. Dia masih tidak menemukan jawaban mengapa Seulgi memutuskan untuk mengakhiri Hidupnya sendiri.
"Lili, masih memikirkan Seulgi?" Lalice hanya mengangguk. Tidak terlalu merespon ucapan Chaeyoung.
"Sebenarnya, siapa Seulgi itu? Aku tidak tahu." Jisoo. kembali mengeluarkan suaranya. Namun respon buruk di dapatnya dari Chaeyoung. Chaeyoung menghadiahkannya sebuah tatapan tajam.
Lalice terdiam. Sejenak dia melihat kembali kilas balik. Dimana hidupnya dalam kesendirian. Bekerja tanpa sepengetahuan kakaknya, bahkan hampir menjual dirinya sendiri.
Lalice merasa jantungnya ditusuk oleh sebilah kayu. Rasa sakit melekat pada dadanya seolah dia telah melakukan kejahatan yang sangat besar.
"Seulgi, dia orang yang menyelamatkan hidupku. Kalian, mungkin tidak tahu ini, bahkan kau Chaeyoung-ah."
Semuanya menoleh kearah Lalice, sangat jarang bahkan tidak pernah Lalice mengutarakan isi hatinya. Biasanya mereka hanya akan mendengar cerita Lalice dengan bertanya kepada seseorang yang ada di perguruan tinggi yang sama dengannya. Namun kali ini, Lalice mengucapkannya dengan mulutnya.
"Aku minta maaf bila ini akan menyakitimu Chaeyoung-ah. Tapi ingat? Ketika kau memaksakan dirimu untuk bekerja dan pulang dengan keadaan dirimu terluka sebab dimarahi oleh atasanmu? Dihari itu aku sangat hancur. Aku hancur melihatmu banting tulang demi memghidupiku. Aku gusar, beberapa hari aku tidak masuk kuliah, aku terus berjalan memikirkan bagaimana cara agar kau berhenti bekerja." Ucapnya mengantung.
"Aku berjalan mengikuti langkah kakiku, bahkan pikiran untuk menjadi jalang pun telah hinggap di pikiranku." Runtuh sudah pertahanannya. Untuk pertama kalinya Lalice manjatuhkan air matanya di depan Chaeyoung.
Jisoo meraih pundak Chaeyoyng yang mulai bergetar, memberinya sedikit usapan dan membiarkan Lalice melanjutkan ceritanya walau sedikit terisak. Tak dipungkiri bahwa keduanya ingin mendengar cerita Lalice.
"Aku berdiri di tengah jalan, melihat seorang pria yang sepertinya mabuk berjalan ke arahku. Pria itu membawa pisau, mengacungkannya kepadaku membuatku terjatuh dan terpojok."
"Aku tidak melawan sedikitpun. Aku membiarkan lelaki itu berkata sesukanya bahkan menginjak perutku. Sampai ketika dia ingin menusukan pisau itu kepadaku, Seseorang datang." Lalice kembali menjeda omongannya. Menggigit bibirnya guna menahan isak tangis.
"Dia Seulgi, Dia melindungiku dan bahunya tertusuk karena aku. Dia melindungiku mulai hari itu dan seterusnya. Namun kini, dia hilang bahkan tanpa berpamitan kepadaku, Unnie."
Lalice meraung, tangisnya perih karena kehilangan sosok yang berjasa dikehidupannya.Begitu juga Chaeyoung, dia menangis namun bukan karena Seulgi. Namum membayangkan bagaimana beratnya menjadi Lalice.
Walaupun berkali kali dilihat Lalice terlihat baik baik saja, namun tanpa sadar batinnya tersiksa. Lalice bukan orang yang mudah untuk mengeluarkan isi hatinya kepada orang lain. Hal itu yang membuat Chaeyoung tak dapat meninggalkan Lalice sejengkal pun.
"Hei sayang, Unnie disini, ya? Tenangkan dirimu ya? Kau kehilangan Seulgi Unniemu, tetapi kau memiliki Aku, Jennie, juga Chipmunk kita. Kami akan selalu menjadi Cahayamu Lili-ya. Aku berjanji. Pegang omonganku."
.....
Jisoo kembali kerumahnya pada larut malam. Baru saja membuka pintu, dia disambut dengan ibu dan ayahnya yang sedang makan malam di meja makan dengan tenang. Seketika, bayangannya terlempat dimana dia dan Ketiga gadis lainnya sedang makan bersama.
"Oh, Jisoo-ya. Kemarilah, mari makan malam." Ibunya berucap sembari mengajak Jisoo duduk. Menyiapkan makanan untuk suaminya serta Jisoo.
Pandangan Jisoo berkeliling melihat mansion ini. Selama dia tinggal disini dia tidak terlalu memperhatikan mansion ini dengan teliti. Dia hanya berdiam diri dikamarnya karena tidak tahu apa yang harus dilakukannya.
Matanya terpaku melihat sebuah frame kecil yang ada di atas meja kecil yang terletak tak jauh dari meja makan. Terlihat Ayah dan ibunya serta seorang laki laki yang sedang menggendong anak perempuan.
"Apa yang kau lihat, Nak? Mari makan." Kini Seojoon yang bersuara, Membelai rambut anaknya itu dengan sangat lembut dan memberinya senyuman hangat.
"Aboeji, Eomma, Ini akan sedikit sensitif. Tapi, bolehkah aku menanyakan sesuatu?" Ucapan Jisoo itu di angguki tanpa ragu oleh orang tuanya. Jisoo menarik nafasnya panjang.
"Apa alasan kalian menaruhku di panti asuhan?"
Satu kalimat yang berhasil membuat ruang makan itu berusah suasana. Seojoon dan Minyoung berpandangan. Tatapan mereka sungguh tidak dapat di artikan. Marah, Sedih, Kecewa, Merasa bersalah, semua ada dalam tatapan itu.
Minyoung memilih berdiri dan meninggalkan anak dan ayah itu. Seojoon masih terdiam menatap putrinya. Entah apa yang harus dia keluarkan untuk menjawab pertanyaan putrinya ini.
Dia tak tahu, dia malu, dia takut. Mulutnya terlalu kelu untuk mengeluarkan jawaban. Hatinya bergejolak, rasa ingin memberitahu hal yang sebenarnya menggebu gebu, namun logikanya berkata ini bukan waktu yang tepat.
"Sebentar lagi nak, kau akan menemukannya."
Palembang, 25 Februari 2023
lagi ga?
KAMU SEDANG MEMBACA
Cuardach
Fiksi PenggemarBerpisah sejak kecil? bahkan mereka terpisah saat mereka tak mengerti apapun. Tinggal disebuah panti yang berbeda membuat mereka tak saling mengenal satu sama lain. mencari kesemua tempat tapi lupa memeriksa apa yang ada di sebelahnya.