Bab 1. Sebuah Syarat

6K 266 78
                                    

- Selamat Membaca -

"Ada yang mau Wira dan Jea bicarakan. Ini tentang keseriusan hubungan kami," ucap Wira mantap kepada orangtuanya sambil menggenggam tangan Jeanice, kekasihnya.

Marwan, ayahnya, menatap tajam sikap berani Wira membawa kekasihnya yang telah menjalin hubungan dengannya dalam enam tahun terakhir ini.

"Ayah dan Ibu sudah katakan, kalian berdua tidak bisa bersama. Kita berada di keyakinan yang berbeda, Wir!" Marwan mencoba mengontrol emosinya yang semakin memburu.

Latar belakang keluarga besarnya sangat taat beragama, tapi disini putranya malah mencoba mangkir dari jalan yang seharusnya. Dia sudah mencoba menasehati putranya, tapi ternyata hubungan Wira dan Jeanice malah semakin serius.

"Wira dan Jea saling mencintai. Apa dalam agama kita mencintai juga dilarang?!" ungkap Wira.

"Hubungan kalian tidak boleh dilanjutkan. Mungkin sekarang kalian merasa hal itu bukan masalah, namun kalian akan menyadarinya suatu saat nanti. Ayah harap kalian berpikir lagi tentang hal ini," ujar Marwan langsung beranjak dari duduknya menuju ke lantai atas.

Melihat kepergian ayahnya, Wira mengalihkan tatapan harapnya kepada sang ibu, Ratih.

"Ibu, dukung Wira, kan?" tanya Wira. Hanya ibunya yang bisa membujuk ayahnya untuk memikirkan kembali keputusannya itu.

Ratih menggeleng lemah. "Ibu sependapat dengan ayahmu. Maafkan kami, Jea, sebagai orangtua kami hanya ingin yang terbaik untuk Wira."

Ratih mulai beranjak dari duduknya setelah mengusap lembut lengan Jeanice yang sedari tadi hanya diam. Dugaannya benar, tidak akan ada restu untuknya dari keluarga Wira karena kepercayaan mereka yang berbeda.

"Apa kita menyerah aja, Wir?" ucap Jea dengan nada lemah.

"Pasti ada cara lain untuk meyakinkan Ayah dan Ibu. Kita nggak boleh nyerah, Sayang." Wira semakin mengeratkan genggamannya pada tangan Jeanice.

Jeanice hanya mengangguk, dia sendiri ragu untuk hubungannya dengan Wira. Padahal, sudah jelas bahwa penyebab masalah ini adalah perbedaan keyakinan di antara mereka. Namun, baik Jeanice atau Wira sama-sama tidak bisa mengorbankan keyakinannya.

Ratih menghampiri suaminya yang sedang berdiri di balkon kamar. Dia tidak menyalahkan sikap keras Marwan kepada putranya. Justru, disini Ratih yang harus menjadi penengah untuk menenangkan keduanya.

"Ayah nggak mau memberi waktu kepada Wira untuk menunggu Jeanice? Mungkin, suatu saat nanti Jea bisa masuk menjadi bagian dari agama kita," ucap Ratih kepada suaminya.

Marwan menggeleng, dia sudah memberi putranya waktu selama ini.

"Hubungan mereka sudah enam tahun, Bu. Ayah takut Wira akan salah ambil keputusan. Jeanice memang baik, tapi kita tetap tidak bisa merestui mereka, karena keyakinannya yang berbeda," ungkap Marwan. Sekarang, hal yang paling dirinya khawatirkan adalah masa depan keluarga anaknya.

"Kita harus pelan-pelan nasehati Wira. Jangan dilawan dengan keras juga," ucap Ratih.

Marwan mengangguk mendengar ucapan istrinya. "Kita jadi ke rumah Sheila?" tanya Marwan kepada istrinya membahas rencana mereka hari ini yang sempat tertunda karena masalah Wira.

"Iya, ibu pengen cepat ketemu Sheila. Kata Budi, kondisi Sheila sedikit mengkhawatirkan sekarang. Ayah nggak apa-apa kita sekarang kesana?" Ratih baru mendapat kabar keberadaan sahabatnya dari salah satu teman kuliahnya dulu.

"Ya, nggak apa-apa. Lagian sudah lama kita cari keberadaan Sheila dan sekarang sudah dikasih petunjuknya. Kita berangkat abis ashar," ujar Marwan mengabulkan keinginan istrinya.

Peri Cinta (Wall Of Love) - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang