Bab 7. Cemburu

3.1K 158 59
                                    

Hampir seminggu, Nadhira menjalani kesehariannya sebagai istri dari Wira Arya Abimana. Namun, bagi Nadhira tidak ada yang berubah, karena Wira dan dirinya bagai orang asing yang menjalani hidup masing-masing dalam satu atap yang sama.

Wajah tertekuk Nadhira lagi-lagi menjadi sarapan bagi Hana ketika memasuki ruangan sahabatnya itu. Dia kira setelah Nadhira menikah dengan pujaan hatinya, wanita itu akan selalu tersenyum menikmati perannya sebagai seorang istri. Namun, hampir setiap pagi Nadhira datang dengan wajah lesu.

"Kenapa lagi, Ra? Kamu harusnya senyum terus dong, karena udah jadi istri dari pangeranmu itu. Kok ini tiap hari malah lesu." Hana duduk sambil membawa secarik undangan di tangannya.

Nadhira mengangkat wajahnya menatap Hana. "Nggak ada kemajuan, Han. Mas Wira makin dingin sama aku," tutur Nadhira.

Pada awalnya, Nadhira memang ingin merahasiakan sikap Wira kepada sahabatnya itu. Namun, dia juga butuh teman berbagi keluh kesah, karena tidak mungkin menceritakan hal ini kepada ibunya atau mertuanya. Bisa rumit nanti.

"Udah dicoba ajak ngobrol belum? Itung-itung PDKT lagi gitu." Hana mulai memberikan sarannya. Walaupun sekarang dia jomblo, tapi dia pernah menjalin hubungan asmara yang kandas dulu. Tidak seperti Nadhira yang sangat anti pacaran sejak dulu.

Nadhira mengangguk. "Udah. Tapi, respon dia cuma ngangguk atau geleng aja. Ya, aku bingung lanjutin topiknya gimana kalo responnya singkat gitu," keluh Nadhira.

Jangankan mengobrol panjang lebar ala pengantin baru, ditawari sarapan saja, Wira hanya mengangguk dan ditambah satu kata saja 'boleh'.

Hana ikut menghela napas mengetahui tidak ada perkembangan dalam komunikasi pengantin baru itu. Namun, tidak lama sebuah senyum terbit di wajahnya ketika mendapat sebuah ide cemerlang untuk Nadhira.

"Ada cara ampuh lain buat bikin Mas Wira klepek-klepek sama kamu," ucap Hana yakin.

Mendengar ucapan Hana membuat wajah Nadhira berseri. "Apa?" tanya Nadhira bersemangat.

"Goda dia sama baju yang aku kasih pas pernikahan kalian. Baju itu, lho. Ingat, kan?" ujar Hana dengan senyum genit.

Nadhira menghela napas mendengar saran itu. "Nggak akan mempan! Bahkan aku udah pernah peluk dia sambil pake bathrobe aja tetap aja gitu."

"Bathrobe?" ulang Hana memastikan pendengarannya tidak salah dan diangguki lemah oleh Nadhira.

Seketika tawa Hana pecah. "Kamu ngapain goda suamimu pakai bathrobe, Ra? Ada-ada aja!" kekehnya.

"Itu aja aku udah malu, apalagi pake baju kurang bahan dari kamu!" kesal Nadhira. Sepertinya, dia akan menggunakan saran itu lain kali saja. Nadhira belum siap.

"Oke, kita cari cara lain lagi nanti aja. Sekarang aku mau kasih ini sama kamu." Hana memberikan secarik undangan kepada Nadhira. Mendengar curhatan Nadhira membuatnya lupa akan tujuannya kesini.

Nadhira membaca undangan tersebut dengan seksama. "Ini pernikahannya Kak Ami, Ketua HIMA tahun kedua kita, kan?" tanyanya memastikan.

Hana mengangguk. "Iya, yang dulu suka bantuin kita kalo ada masalah sama Pak Dekan."

"Aku udah lama nggak ketemu sama Kak Ami. Eh, tunggu... tapi, ini acaranya,"

Nadhira kembali membaca undangan tersebut, karena takut salah melihat tadi. "BESOK?! Han, ini kamu kenapa baru ngasih sekarang."

"Iya, besok. Maaf, Ra," jawab Hana dengan cengirannya. Dia tadinya akan memberikan kepada Nadhira tiga hari yang lalu, tapi melihat Nadhira murung dan berakhir curhat malah membuatnya lupa. Lagipula sehari itu tidak terlalu dadakan, kan?

Peri Cinta (Wall Of Love) - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang