Rumah Nadhira sudah hampir sepi menjelang tengah malam. Mungkin esok hari masih ada beberapa kenalan yang akan datang lagi. Kedua orangtua Wira juga berpamitan untuk pulang malam ini menyisakan Wira, Nadhira dan pekerja Ratih yang sebelumnya menjaga Sheila setelah Nadhira ikut ke rumah Wira.
"Ibu sama Ayah besok kebsini lagi, ya, Sayang. Kamu jangan lupa istirahat, jangan terus berlarut dalam kesedihan. Mama-mu pasti sudah tenang di sana," ucap Ratih memeluk hangat menantunya. Dia mengerti bahwa Nadhira masih belum bisa sepenuhnya ikhlas atas kepergian Sheila yang bagi Nadhira sangat mendadak.
Nadhira mengangguk dalam pelukan Ratih. "Iya, Bu. Makasih udah temenin Dira bahkan urus semua rangkaian pemakaman Mama dari kemarin." Nadhira tidak bisa menyembunyikan suara sendunya.
Wira mengantarkan ibu dan ayahnya ke luar, setelah memastikan Nadhira sudah masuk ke kamar.
"Ibu sama Ayah hati-hati di jalan. Besok kalo mau ke sini nggak apa-apa siangan aja. Jangan lupa istirahat yang cukup," ujar Wira. Kedua orangtuanya pasti sangat lelah, karena mengurus proses pemakaman mertuanya dari mulai dilarikan ke rumah sakit sampai pemakaman selesai.
Ratih mengangguk. Dia memegang lengan putranya dan menatapnya dengan penuh harap. "Nadhira udah nggak punya siapa-siapa lagi, Wir. Kamu jagain dia, ya? Nadhira juga dari kalian sampe ke sini belum makan kayaknya."
Ratih tidak akan pernah bosan mengingatkan putranya untuk menjaga Nadhira yang baru saja kehilangan sosok satu-satunya yang wanita itu punya selama ini.
"Nadhira itu istrinya Wira. Wira pasti akan jaga istri Wira dengan baik, Bu," tegas Wira. Bukan hanya karena Wira yang sudah tahu tentang masa lalu mereka, tapi memang dia sudah merasakan kenyamanan bersama Nadhira akhir-akhir ini.
"Ayah percaya sama kamu," ucap Marwan menepuk bangga pundak putranya. Dia bisa melihat ketulusan dalam mata Wira. Ternyata, ketulusan Nadhira bisa membuka hati Wira kembali pada akhirnya. Marwan yakin itu.
Setelah kepulangan orangtuanya, Wira masuk ke dalam kamar tamu yang memang ditempati mereka sejak datang ke sini. Seperti apa yang dikatakan oleh ibunya, dia datang menghampiri istrinya dengan membawa nampan berisi makanan dan minum untuk Nadhira yang memang seharian ini enggan makan.
Wira mendekati ranjang tempat Nadhira berbaring. Melihat wajah lemah istrinya membuat Wira tidak tega membangunkan istrinya, tapi istrinya tetap harus makan.
"Ra, makan dulu, ya," bisik Wira lembut di samping Nadhira yang sudah memejamkan matanya.
Mata Nadhira perlahan terbuka ketika merasakan hembusan napas halus dan bisikan suaminya.
"Mas, aku nggak mau makan. Kamu aja, ya. Aku pengen tidur," ucap Nadhira berusaha memberikan senyum manisnya kepada Wira. Saat ini, Nadhira hanya ingin tidur berharap kepergian ibunya hanyalah mimpi.
"Tapi, kamu belum makan sejak pagi. Pas di Lombok pun, kamu cuma makan roti, Ra. Makan sekarang, ya?" bujuk Wira.
Nadhira menggeleng lemah. "Besok aja aku makannya. Sekarang aku mau tidur," tolak Nadhira kembali.
"Kalo kamu nggak makan, nanti makanannya nangis. Kamu mau mimpi dikejar nasi-nasi? Kamu, kan takut sama monster nasi yang pernah kamu mimpiin." Wira terkekeh sendu ketika mengingat sebuah kenangannya dengan Nadhira jika wanita itu dulu kukuh tidak mau makan dan ingin menunggu ibunya pulang bekerja padahal hampir tengah malam.
Mata berat Nadhira seketika terbuka mendengar ucapan Wira. Dia tidak akan pernah lupa ucapan yang selalu Wira katakan dulu kepadanya saat dibujuk karena menolak makan.
"Mas, kamu ngomong apaan, sih!" ujar Nadhira sebisa mungkin masih berusaha menyembunyikan kenangan masa lalunya bersama Wira. Kejadian di rumah mertuanya saat itu, masih membuat Nadhira takut bahwa Wira akan kembali marah jika mengingat tentang masa kecil mereka.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peri Cinta (Wall Of Love) - END
SpiritualWira Arya Abimana, mencintai Jeanice Olive Pratiwi dengan segenap hatinya. Demi wanita itu dia berusaha menerjang dinding pembatas yang amat besar karena perbedaan keyakinan. Bahkan ketika sang ayah menjodohkannya dengan Nadhira Shakila Putri, Wira...