Ketika sampai di depan pagar dengan sebuah bendera kuning terpasang di atasnya membuat lutut Nadhira kembali lemas. Untungnya, Wira sigap menahan tubuh lemah istrinya. Dia menuntun Nadhira masuk ke dalam rumah kediaman mertuanya.
Sudah banyak orang berkumpul di sana, karena jenazah Sheila memang sudah selesai dishalatkan dan menunggu Nadhira agar segera dikuburkan.
Nadhira langsung berhambur ke tempat sebuah tubuh tak bernyawa Sheila yang tertutup kain sudah berkafan. Dia membuka sedikit kafan di bagian wajah jenazah sang ibu. Air mata Nadhira kembali jatuh. Namun, dia mencoba menahan tangisnya agar tidak meraung melihat wajah pucat ibunya.
"Mama kenapa tinggalin Dira. Bangun, Ma! Mama nggak boleh tinggalin Dira." Nadhira menelungkupkan kepalanya ke samping jenazah sang ibu. "Bukannya Mama mau temenin Dira sampai kapanpun?"
Melihat tubuh bergetar istrinya membuat Wira langsung mendekat dan mengambil alih tubuh itu ke dalam dekapannya.
"Ra, sudah. Ikhlaskan Mama biar bisa pergi dengan tenang," ucap Wira menenangkan Nadhira yang masih terisak di dalam pelukannya.
"Dira, sabar, ya, Sayang. Kamu harus ikhlaskan Mama-mu untuk pergi dengan tenang." Ratih mengelus punggung bergetar menantunya. Air mata tidak bisa dirinya bendung lagi. Bukan hanya Nadhira yang kehilangan sosok ibu, tapi Ratih pun kehilangan sosok sahabatnya. Padahal, mereka baru bertemu kembali.
"Sekarang kita antarkan jenazah Mama-mu, ya?" lanjut Ratih. Dia memberi kode kepada Wira agar membawa Nadhira ke kamar untuk berganti pakaian dan menenangkan Nadhira terlebih dahulu sebelum mengantar jenazah Sheila ke pemakaman.
Semua proses pemakaman berjalan lancar, beberapa tetangga dan kenalan Sheila semasa kerja sudah mulai berpamitan. Di sana hanya tinggal Nadhira, Wira, Ratih, Marwan dan Hana.
Nadhira masih duduk termenung di samping nisan Sheila dengan Wira yang setia menemaninya.
"Ra, mau pulang sekarang?" tanya Wira kepada istrinya.
"Sebentar lagi, ya, Mas. Aku masih pengen di sini nemenin Mama," sahut Nadhira lemah. Dia masih berharap bahwa hari ini adalah mimpi, tapi sebuah nisan di hadapannya menyadarkan Nadhira bahwa sekarang ibunya memang telah pergi untuk selama-lamanya.
Wira memberi kode kepada orangtuanya dan juga Hana untuk kembali terlebih dahulu. Mereka pasti lelah mengurus proses pemakaman mertuanya dari kemarin. Dia akan menemani Nadhira di sini sampai istrinya lebih tenang dan siap untuk mengikhlaskan kepergian mertuanya.
Ketika waktu sudah menjelang malam, Nadhira akhirnya mengajak Wira untuk pulang. Dia harus belajar mengikhlaskan ibunya yang selamanya tidak akan pernah kembali ke sampingnya.
Sesampainya di rumah, Wira berpamitan sebentar kepada Nadhira yang sedang berada di taman kecil belakang rumahnya untuk menemui beberapa rekan bisnisnya yang turut datang mengucapkan bela sungkawa. Oleh karena itu, Nadhira berada di taman penuh kenangan itu sendiri sekarang.
"Wah, ternyata putrinya Sheila sudah besar, ya. Kamu sangat mirip dengan ibumu."
Sebuah suara menyadarkan Nadhira dari lamunannya. Itu bukan suara suaminya atau mertuanya, tapi sebuah suara asing dalam pendengaran Nadhira.
"Ibu siapa? Apa kenalan Mama?" tanya Nadhira. Beberapa teman ibunya memang pernah berkunjung ke rumah ketika ibunya kecelakaan beberapa tahun silam, tapi dia tidak pernah melihat wanita yang seumuran dengan ibunya ini.
Wanita itu semakin mendekat ke arah Nadhira. "Ibumu terlalu jauh bersembunyi dari saya selama ini. Kenapa saya bertemu dia ketika sudah menjadi mayat seperti tadi? Padahal masih banyak yang harus dia terima karena kesalahannya," ucap wanita itu dengan kilatan marah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peri Cinta (Wall Of Love) - END
SpiritualeWira Arya Abimana, mencintai Jeanice Olive Pratiwi dengan segenap hatinya. Demi wanita itu dia berusaha menerjang dinding pembatas yang amat besar karena perbedaan keyakinan. Bahkan ketika sang ayah menjodohkannya dengan Nadhira Shakila Putri, Wira...