Setelah tiga hari kepergian ibunya, Nadhira memutuskan untuk pulang bersama Wira ke rumah mereka.
Jarak rumah ibunya dengan kantor Wira cukup jauh, sehingga Nadhira memutuskan untuk pulang saja karena tidak tega kepada suaminya. Selain itu, masa cuti yang diambil suaminya pun sudah cukup lama. Dia tidak boleh membiarkan Wira menelantarkan tanggung jawab menjadi pimpinan di sebuah perusahaan besar hanya untuk menemaninya.
"Barang di ruang kerja kamu mau saya bawakan ke bawah aja?" tanya Wira. Pasalnya, ruang kerja Nadhira berada di lantai dua dan Wira khawatir jika kondisi istrinya belum cukup stabil jika harus naik turun tangga nantinya.
Nadhira menggeleng dengan tersenyum hangat. "Nggak perlu, Mas. Aku nggak abis sakit parah juga. Aku udah baik-baik aja, kok," ucap Nadhira berusaha meyakinkan suaminya. Walaupun kesedihannya belum pulih sempurna, tapi dia tidak boleh membuat orang disekitarnya ikut khawatir.
"Beneran?"
Nadhira mengangguk. "Iya. Aku udah baik-baik aja, Mas," ucap Nadhira meyakinkan suaminya.
"Mau saya belikan makan siang apa, Ra?" tanya Wira kepada sang istri yang masih sulit untuk menormalkan kembali jam makannya. Dia mengerti bahwa Nadhira sekarang kehilangan selera makannya, karena masih dalam kondisi berduka. Namun, melihat lemahnya tubuh wanita itu, membuat Wira harus bersikeras membujuk istrinya.
"Kita makan siang di rumah aja, Mas. Kamu mau aku masakin apa?" ujar Nadhira bertanya kembali kepada Wira. Dia tidak boleh larut dalam kondisi berdukanya sehingga membuat kewajibannya melayani Wira terabaikan.
Wajah Wira seketika berbinar. "Saya memang kangen masakan kamu. Tapi... kalo kamu masih ingin istirahat dulu, kita makan siangnya beli dari luar aja, ya," ujar Wira.
"Gimana kalo kamu bantuin aku aja, Mas. Biar masaknya juga nggak terlalu berat," saran Nadhira. Jika tidak seperti ini, kemungkinan Wira akan kukuh untuk membeli makan dari luar. Nadhira lebih suka suaminya menikmati makanan hasil masakannya daripada membeli dari luar.
Wira mengangguk setuju. Mereka lalu mulai melangkahkan kaki ke arah dapur. Untungnya, sebelum pergi ke Lombok, Nadhira sudah mengisi kulkas dengan bahan makanan untuk satu bulan ke depan.
Sekarang, Wira bertugas untuk bagian memotong semua bahan makanan yang telah dipilih oleh istrinya dan Nadhira tentu menjadi juru masak utamanya.
"Mas, kok gede-gede banget potong wortelnya?" ujar Nadhira ketika melihat hasil tangan suaminya yang sesuai ekspektasi. Ya, potongan sayurannya sangat jauh dari ukuran normal.
"Ini nantinya juga bakal dimakan. Jadi, mau dipotong gimana pun juga nggak masalah, kan?" Wira tidak menghiraukan gerutuan istrinya itu. Dia tetap melanjutkan kegiatan memotong wortelnya.
Nadhira hanya bisa mendesah berat. Percuma juga memberitahu suaminya yang memiliki segudang argumen kuat hanya untuk berdebat masalah wortel tentunya.
Tatapan Nadhira yang masih terfokus pada gerakan tangan Wira, kini teralih pada arah sumber suara yang berasal dari ponselnya. Fokus Nadhira teralih karena ada sebuah panggilan masuk pada ponselnya.
"Mas, kayaknya ada yang telpon. Aku mau angkat dulu, ya. Kamu bisa, kan potong semua sayurannya sendiri?" tanya Nadhira sebelum benar-benar meninggalkan Wira mengambil alih masalah potong-memotong sayur di dapur.
"Bisalah. Kamu angkat dulu aja telponnya," sahut Wira tanpa mengalihkan fokusnya dari wortel di hadapannya. Bagi Wira, akan dibentuk seperti apapun, nantinya sayur-sayur ini akan dimakan juga, bukan?
Nadhira mengangguk dan mulai melangkahkan kakinya ke ruang tengah untuk mengambil ponselnya. Untungnya dering panggilan itu masih berlanjut, sehingga Nadhira bisa langsung mengangkatnya. Namun, dahi wanita itu berkerut kala melihat kontak tersebut dari sebuah nomor asing yang baru pertama kali menghubunginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peri Cinta (Wall Of Love) - END
SpiritualWira Arya Abimana, mencintai Jeanice Olive Pratiwi dengan segenap hatinya. Demi wanita itu dia berusaha menerjang dinding pembatas yang amat besar karena perbedaan keyakinan. Bahkan ketika sang ayah menjodohkannya dengan Nadhira Shakila Putri, Wira...