"Nanti saya jemput agak sorean dikit dari biasanya. Nggak apa-apa?" tanya Wira ketika sudah berada tepat di depan butik istrinya.⁰
Nadhira menggeleng. "Aku juga mau beresin kerjaan yang sempat ketumpuk kemarin, kok. Kasihan kalo Hana yang backup terus. Proyeknya rampung sebentar lagi, ya, Mas?" tanya Nadhira.
Setiap malam, mereka akan selalu berbagi cerita tentang hal apapun, termasuk pekerjaan. Oleh karena itu, Nadhira tahu tentang proyek apa saja yang sedang menjadi beban pikiran suaminya. Termasuk, perebutan tender di Kalimantan dengan Reza. Saat itu, Nadhira tidak bisa menahan tawanya ketika mendengar gerutuan Wira tentang Reza.
Wira mengangguk dengan mata masih betah menatap wajah cantik Nadhira. Rutinitas paginya untuk mengisi energi.
"Mas, gimana kalo nanti kamu nggak usah jemput aku aja. Kalo nanti kamu pulang duluan, bisa langsung ke rumah buat istirahat lebih awal. Jarak butik sama kantor kamu tuh jauh banget, Mas."
Nadhira tidak pernah memaksa Wira untuk mengantar jemputnya. Namun, suaminya berubah jadi over protective yang selalu kukuh untuk melakukannya.
"Nggak! Kamu emangnya nggak senang dijemput sama suamimu sendiri, Ra?"
Jika sudah masuk mode seperti ini, maka Nadhira harus mencari cara untuk membujuk Wira si perajuk itu.
Nadhira memegang telapak tangan hangat milik Wira. "Aku senang banget, Mas. Cuma kamu, kan akhir-akhir ini butuh istirahat yang cukup. Aku nggak mau kamu pulang kerja malah makin capek harus jemput aku ke sini dulu."
Wira menggeleng tegas. "Nggak masalah. Nanti saya jemput. Udah sana masuk!" Wira tidak ingin mendengar alasan Nadhira lagi. Toh, dia sangat menikmati mengantar-jemput istrinya itu.
Nadhira hanya bisa menghela nafas dan langsung mengambil tangan kanan Wira untuk diciumnya. "Aku kerja dulu, ya, Mas. Jangan lupa makan bekalnya dan jangan sisain buahnya. Biar nambah energinya!" peringat Nadhira tentang bekal yang selalu dirinya sisipkan di belakang mobil suaminya.
Wira mengangguk mengerti dan langsung mencium kening Nadhira lembut. "Semangat juga, Sayang. Nanti temenin aku pas jam makan siang, ya."
Berhubung Wira sudah sibuk dengan berbagai berkas yang menumpuk, maka dia tidak bisa makan siang selain di ruangannya. Oleh karena itu, setiap jam makan siang, Wira akan makan bekalnya dengan ditemani suara menyejukkan sang istri. Ya, Wira akan selalu menelpon Nadhira ketika jam makan siang.
"Iya, Mas. Aku keluar sekarang."
Setelahnya, Nadhira keluar dari mobil sambil melambaikan tangan dengan senyum manis di bibirnya, menyaksikan kepergian mobil Wira. Pagi yang manis memang.
Nadhira menyusuri lantai menuju ke ruangannya yang berada di lantai dua dengan senyum secerah mentari pagi. Namun, ketika akan meraih gagang pintu ruangannya, tiba-tiba perutnya bergejolak mendesak untuk dikeluarkan.
"Pagi, Ra. Ini-"
Nadhira menggerakkan tangannya memberi kode kepada Hana bahwa dia tidak bisa menyahuti Hana sekarang. Nadhira langsung masuk ke dalam ruangannya dengan langkah tergesa-gesa menuju ke arah toilet, karena takut seluruh isi dalam perutnya keluar di tempat yang salah.
Nadhira memuntahkan seluruh isi dalam perutnya yang sedari tadi mendesak untuk keluar. Namun, hanya air dan lendir yang keluar dari mulutnya. Ah, ini membuat Nadhira menjadi lemas, karena terus-terusan memuntahkan seluruh cairan dalam perutnya.
"Ra, kamu kenapa? Udah sarapan belum?" tanya Hana sudah masuk ke dalam toilet yang tidak terkunci itu. Dia khawatir, karena mendengar suara Nadhira muntah-muntah di dalam.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peri Cinta (Wall Of Love) - END
SpiritualWira Arya Abimana, mencintai Jeanice Olive Pratiwi dengan segenap hatinya. Demi wanita itu dia berusaha menerjang dinding pembatas yang amat besar karena perbedaan keyakinan. Bahkan ketika sang ayah menjodohkannya dengan Nadhira Shakila Putri, Wira...