Bab 6. Kecoa dan Kecewa

3K 165 55
                                    

Nadhira membuka mata ketika mendengar suara pintu terbuka. Dia mengerjapkan matanya sambil mengembalikan kesadaran penuhnya. Dilihatnya, Wira sudah duduk di sofa dengan memangku laptopnya. Mata Nadhira seketika terbuka lebar ketika netranya melihat langit sudah hampir terang di balik gorden kamar.

"Astagfirullah, udah hampir jam enam. Aku kesiangan shalat subuh!" Buru-buru Nadhira beranjak dari posisinya untuk mengambil air wudhu ke kamar mandi setelah melihat jam di ponselnya.

Sejenak dia melupakan Wira yang masih belum terdengar suaranya dari semalam.

Selesai melaksanakan salat subuh, Nadhira langsung beranjak menghampiri Wira. Dia merasa tidak enak kepada suaminya karena bangun terlambat, sedangkan Wira sudah segar dengan secangkir kopi di hadapannya.

"Mas, kamu mau sarapan apa?" tanya Nadhira. Jika dia sudah kelewatan menyiapkan kopi untuk Wira, maka dia harus menyiapkan sarapan untuk mereka berdua.

"Kita sarapan nanti aja. Sekarang kamu siap-siap dulu. Jam sembilan nanti kita check-out!" suruh Wira kepada Nadhira, matanya masih belum melirik istrinya. Bahkan, ketika melihat Nadhira bangun kesiangan saja, dia seakan tidak peduli.

Tidak ada sahutan dari Nadhira, sehingga membuat Wira melirik wanita itu. Seketika dia bisa menangkap kebingungan Nadhira, karena pada awalnya mereka akan menginap di sana selama dua hari.

"Kita akan langsung pindahan ke rumah yang akan kita tinggali. Saya juga sudah bicara sama Ibu dan Mama Sheila," jelas Wira.

Nadhira mengangguk paham. Dia tidak bisa membantah, karena itu sudah keputusan suaminya dan harus diikuti olehnya.

Nadhira langsung memasuki kamar mandi tanpa bicara apapun lagi, sepertinya Wira juga sudah mandi dilihat dari tampilan pria itu yang sudah rapi.

Di dalam kamar mandi, Nadhira memikirkan banyak hal tentang Wira. Dia jelas merasakan sikap dingin Wira kepadanya. Bahkan, suaminya sama sekali tidak tertarik untuk meminta haknya kepada Nadhira semalam. Nadhira paham bahwa mereka menikah karena dijodohkan, tapi dia tidak ingin pernikahannya hampa seperti ini.

"Jangan mikir gitu, Dira! Mas Wira pasti butuh waktu buat adaptasi sama kamu." Nadhira mencoba membuang prasangka buruknya kepada sikap dingin Wira. Ya, disini yang diperlukan adalah pengertian Nadhira.

Setelah melaksanakan seluruh ritual mandi paginya yang cukup memakan waktu lama, Nadhira memakai bathrobe untuk mengeringkan tubuh basahnya. Mata Nadhira seketika terbuka, dia lupa membawa baju ganti tadi.

Walaupun Wira sudah menjadi mahramnya, tetap saja Nadhira juga butuh waktu membiasakan diri menampakkan bagian tubuhnya yang dulu selalu tertutup. Naasnya, sekarang Nadhira hanya memakai bathrobe yang hanya menutupi sebagian tubuhnya.

Dia mengintip dari celah pintu, berharap Wira berada di balkon atau ada keperluan ke luar. Namun, suaminya masih betah dengan posisinya yang tadi.

"Mas Wira itu suami kamu, bukan orang lain. Dia berhak atas semua yang ada pada dirimu. Jadi, nggak usah gugup, Dira," gumam Nadhira mencoba meyakinkan dirinya untuk segera keluar.

Pintu kamar mandi terbuka, tapi tidak membuat Wira ingin meliriknya. Hal itu membuat Nadhira bernapas lega, karena Wira tidak menyadari atau lebih tepatnya tidak peduli keberadaannya.

Namun, helaan napas mulai terdengar ketika Nadhira tidak menemukan tasnya di tempat semalam dia menyimpannya. Apa Wira yang memindahkannya?

"Mas, kamu lihat tas punyaku?" tanya Nadhira pelan. Dia berharap Wira tetap pada fokusnya dan hanya memberinya jawaban saja.

Wira melirik Nadhira, karena pekerjaannya pun sudah selesai. Matanya langsung terhipnotis dengan penampilan istrinya saat ini.

Semalam, dia langsung tidur dan belum melihat Nadhira tanpa jilbab. Namun, sekarang Wira bukan hanya melihat rambut indah wanita itu, melainkan bentuk tubuh sempurna istrinya yang hanya memakai bathrobe.

Peri Cinta (Wall Of Love) - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang