Bab 9. Masa Lalu Pilu

2.7K 146 52
                                    

"Ayah kamu kok nggak ada di perayaan Hari Ayah kemarin, Na?" tanya seorang anak kecil dengan rambut kuncir kuda kepada Nadhira.

Nadhira sedikit gugup karena dikelilingi oleh teman-teman kelasnya. "Ayah aku masih belum pulang. Dia kerjanya jauh, jadi nggak bisa pulang sekarang," ucap polos gadis itu.

Jawaban itu yang selalu dikatakan ketika teman-temannya bertanya tentang sang ayah, karena itu juga yang dikatakan oleh ibunya.

"Waktu kita masih TK juga, kamu bilangnya gitu mulu, Na. Jangan-jangan kamu nggak punya ayah beneran!" ujar Sabila, teman Nadhira yang berada di TK yang sama sebelumnya.

"Kalo Nana nggak punya ayah, kata ibuku itu namanya anak haram dong!" Seketika tawa anak-anak yang lain pecah mendengar ucapan Sabila.

"Nggak mau main lagi sama Nana, ah! Katanya ayahnya kerja ternyata emang kamu nggak punya ayah aja, Na. Dasar pembohong!" ucap Tari, teman bermain Nadhira di sekolah ini yang sekarang ikut mengejeknya juga.

Sejak awal masuk, kabar miring tentang Nadhira yang tidak memiliki ayah sudah tersebar di kalangan orang tua, tapi ibunya tidak pernah ambil pusing sindiran itu. Dia sama sekali tidak ada waktu menanggapinya karena setelah mengantar Nadhira, dia akan langsung pergi ke tempat kerja.

"Nana punya ayah! Nana punya ayah!" gumam Nadhira sembari menangis di depan rumahnya yang sepi. Seperti biasa, sang ibu belum pulang bekerja.

"Siapa lagi yang bilang kamu nggak punya ayah?" tanya seseorang di hadapan Nadhira yang duduk sambil melipat tangan untuk bantalan kepala.

Namun, tidak ada jawaban dari gadis itu, hanya isak tangis yang masih terdengar.

Wira berjongkok, mengelus rambut gadis kecil yang dikenalkan oleh sang ibu kepadanya saat awal semester baru kemarin, katanya ibu dari gadis ini harus bekerja sehingga tidak bisa mengantar ke sekolah.

Rumah Nadhira juga tidak jauh dari rumahnya, tetapi Wira tidak pernah melihat ada orang di rumah itu, termasuk ibunya Nadhira. Oleh karena itu, dia akan selalu menemani gadis itu sampai waktu petang.

"Jangan nangis, dong. Nanti Kak Wira beliin es krim buat Nana. Gimana, mau?" tanya Wira mencoba membujuk Nadhira.

Nadhira menaikkan kepalanya untuk melihat anak dari sahabat ibunya itu.

Ketika mulai masuk sekolah dasar, ibunya tidak bisa mengantarkannya ke sekolah seperti waktu TK dan menitipkan Nadhira kepada sahabat sang ibu, karena anak dari sahabatnya itu bersekolah di lokasi yang sama dengan sekolah Nadhira sekarang. Sekolah itu mencakup tingkat SMP dan SMA, kebetulan, Wira bersekolah SMP di sana.

"Janji? Nana pengen es krim coklat. Boleh, Kak?" ucap gadis itu sambil menghapus kasar bekas tangisnya.

Wira mengangguk dengan senyum hangatnya. "Kakak beliin dua! Asal jangan nangis lagi, nanti cantiknya hilang," ucap Wira sembari membantu gadis itu menghapus air matanya yang masih tersisa.

"Kak Wira jangan kasih tahu Tante Ratih kalo Nana nangis, ya. Nanti Tante Ratih bilang ke ibu. Nana nggak mau ibu sedih nanti," pinta Nadhira penuh harap kepada Wira.

Wira mengangguk setuju membuat sebuah senyum terbit di wajah gadis yang dulu memperkenalkan diri dengan nama sangat imut menurut Wira. Nana, gadis itu menyebut namanya dengan menggemaskan kala itu.

Walaupun, rumahnya dengan Nadhira berdekatan, tapi Wira tidak pernah melihat sekali pun ibu dari gadis itu. Kata Ratih, wanita itu memang bekerja tanpa libur, sehingga Nadhira banyak menghabiskan waktu sendiri di rumah. Namun, sekarang tidak lagi, karena ada Wira yang selalu menemani Nadhira.

Ketika berjalan melewati kantin untuk membeli camilan, Wira ditahan oleh teman-temannya. Dia memang sudah jarang bermain dengan mereka lagi, karena Wira selalu pulang duluan dengan Nadhira dan bermain dengan gadis itu seharian.

Peri Cinta (Wall Of Love) - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang