Wira memasuki sebuah cafe yang menjadi tempat pertemuan pertamanya dengan Jeanice dan sekarang wanita itu justru akan menjadikan cafe ini sebagai tempat terakhir mereka bertemu. Dia melihat wanita itu sudah duduk di meja pojok sayap kanan.
"Maaf, aku buat kamu nunggu lama," sesal Wira. Tadi, dia harus mengurus beberapa berkas dahulu, sehingga datang sedikit terlambat.
Jeanice menatap Wira dengan senyum getirnya. "Nggak apa-apa. Kamu juga sering nunggu aku selama kita pacaran, ternyata melelahkan juga," kekeh Jeanice seakan menyiratkan sesuatu.
"Aku rela nunggu kamu bahkan jika lebih lama dari waktu enam tahun hubungan kita saat ini. Tapi, jangan pernah bilang pisah, Jea. Aku nggak akan pernah melepaskan kamu." Wira menggenggam tangan wanita di hadapannya erat. Dia rela tidak menikah, jika memang Jeanice memintanya untuk menunggu lagi.
Jeanice menggeleng lemah. "Kita udah nggak bisa, Wir. Aku kesini cuma mau pamitan sama kamu, karena minggu depan aku udah berangkat ke Jepang," ujar Jeanice tegas.
"Jepang? Kamu ada kerjaan disana?" tanya Wira mencoba menghilangkan dugaan terburuknya.
"Aku mau tinggal disana sama keluargaku. Aku mau berterima kasih buat segalanya. Aku sayang sama kamu, tapi ini memang yang terbaik buat kita." Jeanice mencoba menahan air matanya untuk tidak jatuh. Dia harus bisa melewati ini agar kehidupannya setelah ini bisa tetap berjalan dengan baik.
"Kenapa tiba-tiba ke Jepang? Kamu bilang sayang, tapi kamu yang ninggalin aku. Kamu egois, Jea!" seru Wira.
Ini bukan yang diharapkan Wira. Dia kira Jeanice meminta bertemu untuk kembali memikirkan keputusannya, tapi malah semakin memperkukuh ucapan wanita itu kemarin. Bahkan, wanita itu akan pindah dari negara ini.
"Kamu mau sampai kapan mempertahankan aku tanpa restu orang tuamu? Aku nggak mau membuat kamu jadi anak pembangkang, Wir!" ucap Jeanice menatap Wira tajam.
"Aku yakin kita hanya perlu menunggu agar bisa melewati semua ini. Biar waktu yang mempertahankan cinta kita. Suatu saat nanti ayah dan ibu pasti akan luluh juga." Wira mencoba meyakinkan Jeanice. Dia memang tidak bisa menentang restu orangtuanya, tapi dia masih sanggup menunggu sampai keluarganya memberikan restu untuk mereka.
"Tapi, mereka sudah menjodohkan kamu dengan wanita lain! Tidak ada celah untuk aku dan keyakinanku." Jeanice saat ini tidak bisa mengorbankan keyakinannya, maka dia harus rela melepas Wira.
"Aku nggak mau menikah dengan siapapun selain kamu! Jea, kamu cukup memintaku untuk menunggu. Aku akan bicara sama ayah apapun konsekuensinya nanti." Wira tidak bisa melepaskan wanita yang dicintainya begitu saja hanya untuk sebuah perjodohan dan syarat yang menurutnya tidak masuk akal.
Jeanice melepaskan genggaman tangan Wira. Dia harus bisa tegas dalam mengambil langkah ini.
"Maaf, keputusan aku sudah bulat. Karena, disini bukan cuma kita yang terlibat, tapi keluarga kita juga harus ikut andil dalam tercapainya sebuah pernikahan, Wir."
Tidak pernah terpikirkan oleh Jeanice yang akan mengorbankan keluarga dan keyakinannya untuk seorang pria. Namun, disini dia dibuat goyah oleh Wira.
"Aku pamit. Semoga kamu bahagia dengan kehidupan kamu nanti." Jeanice berlalu dari hadapan Wira tanpa menunggu respon pria itu. Dia takut pertahanannya runtuh jika terus bersama Wira.
"Sialan! Gara-gara perjodohan konyol ini, Jea harus pergi." Wira mengeratkan rahang tegasnya, menahan diri agar tidak melampiaskan emosinya pada gelas di depannya.
Wira memutuskan untuk pulang ke rumahnya. Sekarang, tidak ada alasan lagi untuknya menolak perintah orang tuanya. Dia melangkah gontai memasuki pintu dan langsung menemukan orang tuanya berada di ruang tengah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peri Cinta (Wall Of Love) - END
SpiritualWira Arya Abimana, mencintai Jeanice Olive Pratiwi dengan segenap hatinya. Demi wanita itu dia berusaha menerjang dinding pembatas yang amat besar karena perbedaan keyakinan. Bahkan ketika sang ayah menjodohkannya dengan Nadhira Shakila Putri, Wira...