Marwan dan Ratih sudah hampir sepuluh menit memencet bel rumah putranya, tapi belum ada tanda-tanda pintu itu akan terbuka. Bahkan, ponsel milik Wira dan Nadhira sudah beberapa hari ini tidak bisa dihubungi juga.
"Yah, mereka nggak lagi keluar rumah, kan?" tanya Ratih melihat suasana rumah tersebut sepi.
"Wira nggak ada bilang sama ayah mau keluar rumah. Lagian, dia juga nggak ambil cuti di kantor."
Marwan dan Ratih langsung mendatangi rumah putranya setelah mendapat laporan bahwa beberapa hari ini Wira tidak masuk kerja.
"Ibu kok jadi khawatir ya sama mereka. Nggak biasanya juga Dira nggak aktif pas dihubungi."
Bukan hanya Wira yang seolah menghilang, tapi menantu mereka pun seakan ikut menghilang. Hal itu yang menjadi alasan Marwan dan Ratih mengunjungi rumah itu.
"Kita tunggu Pak Karni bawa kunci cadangan di rumah aja, Bu." Marwan berusaha menenangkan Ratih sembari menunggu sopirnya yang sedang mengambil kunci cadangan di rumah. Untungnya, Wira pernah memberi mereka kunci cadangan, karena takut sang ibu akan berkunjung disaat dia sedang diluar rumah.
Ketika Karni sudah kembali dengan membawa kunci yang mereka tunggu, Marwan langsung membuka pintu rumah Wira dengan perasaan yang cemas. Benar saja, kecemasan itu bertambah ketika melihat keadaan rumah tersebut yang jauh dari biasanya. Setiap sudut ruangan gelap dan beberapa tempat cukup berantakan. Dapur yang biasanya tertata rapi, sekarang malah seperti kapal pecah. Ada apa sebenarnya?
Mereka langsung terfokus pada pintu kamar terbuka milik Wira, karena rasa cemasnya Ratih langsung memasuki kamar tersebut. Matanya membulat ketika melihat keadaan kamar yang sangat berantakan dengan Wira yang masih bergelung dalam sebuah selimut tebal tanpa terlihat ada Nadhira di sana.
"Wir, kamu nggak apa-apa?" ucap Ratih ketika melihat wajah pucat putranya dengan suhu tubuh yang tinggi. Wira sedang demam. "Yah, Wira demam. Cepat panggil Pak Karni buat bantu bawa Wira ke rumah sakit!"
Mendengar suara ibunya, perlahan mata Wira terbuka. Dia menatap kosong keberadaan orangtuanya.
Ratih pernah melihat tatapan ini. Ya, tatapan yang ditunjukkan oleh Wira ketika Nadhira kecil dulu pergi di hari ulang tahun putranya saat itu. Perasaannya menjadi tidak karuan, apa Nadhira-
"Nadhira-"
"Mulai sekarang jangan pernah sebut nama itu lagi, Bu!" Wira langsung bangkit dari posisi berbaringnya. Aura dingin jelas terasa dari sosok Wira. Sebenarnya ada apa?
"Maksud kamu apa, Wir? Kalo kalian lagi ada masalah, coba tenang dulu. Terus, Nadhira dimana sekarang?" tanya Marwan mencoba menenangkan putranya.
"Dia sudah pergi dengan pria yang dicintainya. Pergi setelah membuat Wira jatuh untuk kedua kalinya kepadanya!"
Ratih dan Marwan menggeleng tidak percaya dengan ucapan putranya. "Wir, coba bicarakan baik-baik dulu. Ibu yakin kalian cuma salah paham."
"Salah paham?" Wira beranjak dari posisi duduknya untuk memperlihatkan foto yang diterimanya kepada Ratih. "Lihat! Dia pergi dengan laki-laki lain, meninggalkan suaminya sendiri. Apa itu yang namanya salah paham?"
"Kamu berantem sama Nadhira sebelum ini?" tanya Ratih hati-hati. Dia percaya bahwa Nadhira tidak mungkin melakukan sebuah pengkhianatan keji seperti ini.
"Wira sudah bersikap layaknya suami yang baik untuk dia. Bahkan, Wira sendiri nggak tahu apa kesalahan Wira sampai dia mengkhianati Wira seperti ini!" ungkap Wira. Sepertinya, untuk menyebut nama Nadhira saja, dia sudah tidak sudi.
Ratih menatap Marwan dalam diam memberikan kode bahwa dia tidak tahu harus berbuat apa untuk masalah besar ini. Nadhira sepertinya sudah pergi dengan membawa seluruh pakaiannya, terlihat dari lemari kosong yang tampak masih terbuka di kamar putranya.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peri Cinta (Wall Of Love) - END
SpiritualWira Arya Abimana, mencintai Jeanice Olive Pratiwi dengan segenap hatinya. Demi wanita itu dia berusaha menerjang dinding pembatas yang amat besar karena perbedaan keyakinan. Bahkan ketika sang ayah menjodohkannya dengan Nadhira Shakila Putri, Wira...