Delapan bulan berlalu begitu cepat dan kehidupan Wira tetap berjalan dengan sosoknya yang jauh lebih dingin dibandingkan dulu. Tidak ada karyawan yang berani masuk ke dalam ruangan pria itu, karena akan berakhir dengan keputusan mengundurkan diri. Menyeramkan, bukan?
"Wir, lo pecat staff perencanaan lagi?!" tanya Randi yang baru menerima laporan bahwa dalam minggu ini jumlah karyawan yang mengundurkan diri hampir mencapai angka sepuluh. Luar biasa.
Wira menggeleng dengan mata masih fokus pada layar laptopnya. "Mereka aja yang mau resign. Gue cuma kasih tahu kesalahan mereka dan suruh revisi."
Randi berdecak tidak percaya dengan sosok manusia batu di depannya ini. "Lo mau sampai kapan, sih, kayak gini? Ini udah delapan bulan dan hampir satu tahun. Lo nggak bisa terus kayak gini, Wira!"
Pada awalnya, Randi cukup mengerti dengan masalah yang dialami oleh sahabatnya itu. Namun, Wira tidak bisa terus seperti ini dan Randi pikir tindakan Wira saat ini bukan jalan yang benar. Bagaimana bisa Wira hanya berdiam menerima kepergian Nadhira yang begitu mendadak?
Ya, Wira hanya diam saja. Namun, kehidupan pria itu malah menjadi tanpa arah tujuan. Ayolah, Randi pun merasa ada yang janggal dalam masalah ini.
"Kalo lo mau bahas tentang itu, mending lo keluar! Gue lagi banyak kerjaan," tolak Wira.
"Lo yakin nggak akan cari Nadhira? Gue yakin alasan dia pergi bukan seperti yang lo pikirin."
Wira menghentikan gerakannya. "Terus, kenapa dia nggak balik-balik sampai sekarang?"
Randi hanya bisa mendesah pasrah dengan sifat keras kepala Wira. Dia memang tidak bisa memberikan jawaban yang membenarkan tindakan Nadhira pergi dari sahabatnya itu. Namun, Randi sangat yakin ada alasan lain yang tidak ingin Nadhira beritahu kepada Wira.
"Terserah lo! Katanya cinta, tapi malah tutup mata sama kepergian istri lo sendiri." Setelahnya, Randi meninggalkan ruangan Wira dengan perasaan dongkol. Dia gemas sendiri dengan sikap pasif sahabatnya itu.
Ketika keluar dari ruangan Wira, Randi berpapasan dengan Jeanice yang seperti biasa akan rutin berkunjung ke ruangan sahabatnya itu. Walaupun hanya sekedar mengantarkan makan siang saja. Entah kenapa, Randi merasa Jeanice sedang diberi kesempatan untuk bisa kembali dengan sahabatnya itu.
"Hai, Jea. Mau ke ruangan Wira?" sapa Randi menghentikan langkah Jeanice.
"Iya, Ran. Mau kasih undangan resmi dari pihak Japan Auto Parts buat Wira buat makan malam perayaan proyek kita di Palembang."
"Sini titip gue aja. Wira lagi kayak macan, nggak bisa ditemui. Takut lo digigit." Randi menawarkan bantuan kepada Jeanice. Dia yakin bahwa ucapannya tadi akan membuat suasana hati Wira tambah buruk dan Randi tidak ingin Jeanice terkena amukan Wira.
Jeanice menggeleng. "Biar gue aja yang kasih sendiri. Lagian gue lagi pengen ketemu sama Wira juga. Ada yang mau gue omongin sama dia."
Jeanice tidak akan melewatkan kesempatannya sehari saja untuk meluluhkan hati Wira. Beberapa hari lagi, dia sudah tidak berposisi di kantor Wira, melainkan berpindah ke gedung yang telah disiapkan khusus pengawasan proyek di Palembang dari perusahaan asalnya.
"Kok lo jadi kayak manfaatin situasi ya, Jea. Lo tahu, kan status Wira masih jadi suami orang. So, gue rasa nggak etis juga lo sering datengin dia." Randi memang sudah mengenal Jeanice sebelum mengenal Wira. Namun, dia tidak suka dengan tindakan Jeanice yang seakan terus masuk ke dalam situasi kacau ini dan memperkeruh keadaan.
Senyum mengembang Jeanice luruh seketika mendengar ucapan Randi. "Lo ngomong apaan, sih, Ran. Gue tahu kalo Wira masih suami Nadhira, tapi ini nggak adil buat Wira." Jeanice menatap tajam Randi.
KAMU SEDANG MEMBACA
Peri Cinta (Wall Of Love) - END
SpiritualWira Arya Abimana, mencintai Jeanice Olive Pratiwi dengan segenap hatinya. Demi wanita itu dia berusaha menerjang dinding pembatas yang amat besar karena perbedaan keyakinan. Bahkan ketika sang ayah menjodohkannya dengan Nadhira Shakila Putri, Wira...