Bab 8. Gara-Gara Ikan

2.7K 152 50
                                    

Nadhira tersenyum ketika melihat mertuanya sudah berdiri untuk menyambutnya dan Wira yang baru turun dari mobil.

Wira menjemput Nadhira untuk berkunjung ke rumah orangtuanya, karena ayahnya sedang sakit. Oleh karena itu, mau tidak mau dia yang menjemput Nadhira setelah mendapat sindiran dari sang ibu.

"Dira, menantu kesayangan ibu. Ayo masuk, Nak," ajak Ratih sumringah ketika menantunya sudah berada di hadapannya.

Wira menatap tidak percaya ketika ibunya tidak menyapanya sama sekali dan hanya fokus bersapa ria dengan menantunya. Disini, Wira atau Nadhira, kah, yang menjadi anaknya?

"Ayah, makanya jangan dulu ikut project baru di kantor. Nah, kan, jadi kecapean gini," oceh Wira ketika sudah berada di kamar sang ayah.

Beberapa hari yang lalu, Marwan bersikeras untuk ikut berpartisipasi dalam perebutan tender dengan perusahaan milik keluarga Sanjaya. Bisa dikatakan, bahwa kubu Abimana dan Sanjaya selalu bersaing untuk project besar sejak dulu. Namun, baru sehari turun ke kantor, ayahnya sudah pingsan dan terbaring sakit seperti sekarang.

"Kamu itu, mau jenguk atau omelin ayah, sih," keluh Marwan ketika mendapatkan omelan dari putranya.

"Ayahmu itu memang keras kepala. Pantas nurun sama anaknya!" sindir Ratih baru masuk lagi ke kamar membawa buah segar untuk suaminya.

Nadhira terkekeh mendengar sindiran mertuanya itu. Ternyata sifat keras kepala Wira tidak hanya dirasakan olehnya, tapi juga oleh orangtua dari suaminya itu.

"Ayah mau Nadhira bikinin sup ayam,?" tawar Nadhira kepada ayah mertuanya. Dia diberitahu oleh Ratih bahwa Wira sangat suka sup ayam, persis seperti ayahnya.

Wajah Marwan berseri mendengar tawaran dari menantunya.

"Boleh, tuh, Dira. Kamu emang pengertian sama ayah. Nggak kayak Wira yang bisanya cuma ngomelin ayah," ucap Marwan semangat. Ada perasaan bahagia, ketika mendapat tawaran dari menantunya, seperti akan dibuatkan masakan oleh putrinya sendiri.

Wira hanya tersenyum geli melihat tingkah ayahnya yang seperti anak kecil di hadapan Nadhira. Sangat berbeda dengan sikap ayahnya ketika menanggapi hubungannya dengan Jeanice beberapa waktu lalu.

Ah, apa kabar Jeanice. Sejak kepergian wanita itu, Wira sama sekali belum mendapat kabar apapun lagi.

"Wira mau bawa tas Wira sama Nadhira ke kamar dulu, ya," pamit Wira kepada orangtuanya.

Bawaannya dan istrinya cukup banyak, karena untuk memenuhi permintaan sang ibu, mereka akan menginap selama seminggu disini. Mereka hanya bisa menurut, bukan?

Melihat kepergian putranya, Ratih ikut beranjak mengikuti Wira. Dia ingin membicarakan sesuatu dengan putranya itu.

"Eh, Ibu. Mau bantuin Wira masukin baju ke dalam lemari, kah?" canda Wira ketika melihat ibunya ternyata mengikutinya kesini.

Ratih menggeleng sambil tersenyum. "Ada yang mau ibu bicarakan sama kamu," ucap Ratih dengan posisi sudah duduk di sofa yang memang tersedia di kamar putranya itu.

Wira meninggalkan tas bawaannya dan langsung menyusul ibunya untuk duduk. "Ibu mau bicara tentang apa?" tanya Wira.

"Bagaimana hubungan kamu dengan Nadhira?" tanya Ratih menatap lembut putranya.

Wira terkejut mendapat pertanyaan itu.

"Em, hubungan Wira sama Nadhira baik-baik aja, Bu," jawab Wira mencoba tenang. Apa ibunya tahu bahwa selama ini hubungannya dengan istrinya jauh dari kata baik, lebih terkesan dingin?

Ratih memegang telapak tangan putranya. "Ibu tahu, baik kamu ataupun Nadhira butuh waktu untuk beradaptasi dengan status baru kalian. Terlebih, kalian menikah karena sebuah perjodohan. Tapi, sekarang Nadhira adalah istri kamu. Dia menjadi tanggung jawab kamu, Nak," ucap Ratih dengan lembut.

Peri Cinta (Wall Of Love) - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang