Bab 22.Pelukan Terakhir

3.4K 176 58
                                    

Sudah tiga hari, Nadhira dan Wira berada di Lombok untuk menjalankan titah hadiah dari orangtuanya. Selama berada di Lombok, Nadhira merasa suaminya sangat berubah drastis kepadanya. Sikap Wira yang menjadi sangat lembut dan perhatian, walaupun wajahnya tetap datar.

Setiap sore, Wira akan selalu sigap menemani istrinya menikmati sunset di pantai Kuta dekat dengan posisi Villa yang mereka tempati.

"Mas, bangun. Masa abis solat subuh tidur lagi, sih," bujuk Nadhira.

Selain perubahan sikap, suaminya juga jadi sangat rajin bangun subuh untuk melaksanakan sholat berjamaah di masjid bersama Pak Ahmad. Walaupun, setelahnya Wira akan kembali tidur.

"Ra, saya capek. Semalam nggak tidur." Wira masih belum membuka gelungan selimut tebal di tubuhnya. Cuaca pagi di Lombok cukup dingin dan membuat Wira sangat nyaman berada dalam tidur paginya.

"Kamu nggak capek apa? Mending tidur lagi, lagian cuacanya juga agak mendung." Wira membuka matanya perlahan dengan seringai di bibirnya untuk menggoda Nadhira.

"Mas, ih! Mendung apanya, ini cerah begini." Nadhira menyembunyikan rasa malunya yang digoda oleh Wira dengan menyubit perut pria itu. Kenapa Wira juga jadi sering menggodanya? Kemana Wira yang dingin dan ketus itu?

Wira menarik tangan Nadhira dan membawa tubuh istrinya ke dalam dekapannya. Rasanya sangat nyaman mendekap sang istri seperti ini.

"Emangnya mau kemana, sih? Mana udah wangi gini kamu," ucap Wira mencium rambut Nadhira yang sekarang tidak mengenakan hijab.

"Bukannya kita mau sepedaan di pinggir pantai? Katanya kamu udah lama nggak sepedaan," ucap Nadhira mengingatkan Wira.

Wira diam sejenak untuk mengingatnya. Lalu, kembali mengeratkan pelukannya di tubuh Nadhira. "Sebentar lagi. Masih pengen kayak gini."


Nadhira hanya bisa pasrah, karena sangat tidak mungkin Wira bisa dipaksa sekarang. Dia harus menunggu gerakan hati suaminya untuk bangkit dan berangkat ke tempat tujuan mereka.

Nadhira mulai menatap wajah suaminya yang kembali memejamkan mata di ceruk lehernya dengan tenang. "Aku senang kamu berubah kayak gini, Mas."

-0-0-0-

Seperti rencana tadi malam, sekitar pukul sepuluh pagi ini, Wira dan Nadhira sudah berada di pinggir pantai menaiki sebuah sepeda bersama. Awalnya, Nadhira menolak untuk bersepeda dengan menggunakan satu sepeda saja. Namun, Wira dengan berbagai kata-kata mulusnya berhasil memaksa Nadhira agar mengikuti ucapannya.

"Mas, aku bisa pakai sepeda sendiri. Kamu turun dulu, deh. Aku bahkan bisa bersepeda dengan satu tangan," ucap Nadhira percaya diri. Dia merasa tidak leluasa bersepeda dengan Wira yang malah menuntunnya di belakang.

"Kamu tadi aja oleng. Kalo jatuh siapa yang repot? Lagian, bersepeda bersama tuh kayak gini, Nadhira," ucap Wira santai.

Nadhira mendelik malas ke arah suaminya. "Aku nggak nyaman, Mas, duduk di depan kayak gini. Emangnya aku anak kecil, harus dibonceng depan segala," rengek Nadhira. Rencana menikmati angin pantai pagi dengan mengendarai sepeda harus pupus karena tindakan suaminya yang diluar dugaan.

"Syut, diam aja. Jangan banyak gerak, nanti kita jatuh." Wira tidak mengindahkan rengekan istrinya itu. "Kapan lagi kamu dibonceng romantis kayak gini sama suamimu yang tampan ini, kan?"

Peri Cinta (Wall Of Love) - ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang