BAB 20

42 13 19
                                    

TORA

Talitha: km jahat.

Talitha: Awas ak laporin km ke polisi krn km sudah nipu aku.

Talitha masih tidak menyerah, dari kemarin isi pesannya mirip terus menerus dengan variasi kalimat. Kemarin karena penggelapan, sekarang pemerasan. Benar kata Vita, seharusnya saya tidak usah baca pesan atau blokir sekalian. Namun, saya belum memblokirnya sampai sekarang karena terkait utangnya yang belum selesai, entah kapan akan lunas.

Sebaiknya saya kembali ke berkas perkara yang disusun secara vertikal, hari ini ada empat berkas perkara yang harus saya periksa ulang sebelum ditaruh di meja panitera muda. Empat berkas ini yang akan maju ke sidang banding. Sejauh ini semua persyaratannya sudah terbendel rapi, jadi saya bawa ke meja panitera muda yang terkait sama kasus dalam berkas perkaranya.

Di depan meja, saya menggoyangkan badan ke kiri dan kanan untuk merilekskan pinggang yang kaku. Ketika duduk, senyum saya merekah karena sidang pagi ditunda besok karena ketua majelis hakimnya tidak bisa hadir dengan alasan keluarganya sakit.

Ponsel saya bergetar ketika buka komputer, tangan saya meraihnya yang mana ternyata ini dari Vita. Dia mengirim foto kardus berisi makanan dengan keterangan mau pamer aja habis video unboxing.

Vita: Ini ad beras shirataki, jd keinget km katanya suka beras ini.

Saya: Iya, Sayang.

Hanya itu pesan yang saya bisa balas karena saya kembali bekerja, kembali memeriksa ulang dua berkas perkara. Bedanya berkas ini tidak dibawa ke sidang banding, tapi tetap saja harus dapat nomor registrasi agar bisa lolos ruang arsip. Untunglah satu jam kemudian sudah terparkir di meja panitera muda. Beliau tersenyum tipis padaku sebelum pergi dari mejanya.

Sebelum jam pulang kerja, Vita menelepon. "Halo, Sayang, ada apa?"

"Sayang, ntar pas pulang kantor kamu ke rumah aku dong. Aku mau bagiin banyak makanan nih."

Bukan Vita namanya kalau nggak langsung ke inti pembicaraan.

"Ini beneran kamu kasih ke aku, Yang?" Jujur saya sebenarnya senang dapat hadiah endorse dari Vita, soalnya semua barangnya berkualitas dan ulasan Vita di video selalu jujur. Makanya saya bertanya ulang, untuk memastikan ini beneran bukan mimpi.

"Beneran, Yang. Ini aja barang endorse sesi makanannya kebanyakan dan nggak semua bakal kumakan. Aku sengaja telpon kamu biar ambil dulu sebelum kubagikan ke tetangga. Tenang, Yang, untuk makanan sudah dapat izin dari pihak brand asal masih ada bagian untuk diriku dan properti syuting."

"Oke aku mau, Yang."

Kesempatan tidak datang dua kali, jadi selagi bisa diambil dan menurut saya bawa keberuntungan akan saya ambil.

"Asik," seru Vita, nada cerianya bikin hati saya ikut senang. "Pokoknya buruan kamu cepetan pulang, aku tunggu. Kalau kamu nggak datang barangnya bakal kukasih ke tetangga dan kamu nggak akan dapat." Saya yakin di seberang panggilan Vita pasang wajah pura-pura cemberut dan tidak sungguh-sungguh dengan ancaman tadi.

Saya melirik jam di arloji, tinggal lima menit untuk absen pulang. "Aku nggak akan ketinggalan."

"Baiklah kalau begitu aku tunggu, Sayang. Dada."

Rekan kerjaku sudah pada stand by di dekat mesin sidik jari. Saya tidak tahu di kantor pengadilan di kabupaten atau kota lain bagaimana, tapi untuk di kota Malang – kota, bukan kabupaten. Kalau yang kabupaten itu di Kepanjen – masih belum full pakai daring, ada yang sebagian pakai sidik jari sebagai absen datang dan pulang. Teman-teman saya pakai absen daring kebanyakan kejebak macet di jalan. Saya sendiri santai saja, ikut antrean panjang gitu bikin kepala pusing dan sesak napas jadinya nunggu di ruangan.

Slowly Falling [TAMAT DI KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang