BAB 32

29 4 4
                                    

TORA

Efek samping pasang fotoku bersama Vita di instastory rupanya masih menimbulkan kehebohan di grup keluarga. Bukan grup keluarga besar, tapi keluarga inti.

Ibu: Siapa namanya, Le? Buruan kenalin ke kita.

Ibu: Nek km ga kenalin kita yang datengi. Ya, kan, Yah?

Ayah: Betul, Bu.

Mas Pratama: Adekku akhire metu teko toxic relationship akhirnya.

Masih banyak lagi isi chatnya, tapi saya tidak peduli karena hari Jumat adalah hari di mana pekerjaan tidak terlalu banyak dan pakai baju batik bebas. Sidangnya juga agenda baca gugatan kasus sengketa bangunan. Beberapa rekan kerjaku ada yang sudah tidak ada di kantor, entah ngapain.

Begitu selesai memeriksa berkas perkara beberapa menit sebelum azan salat jumat, ada pesan lagi dari Ibu kali ini tidak lewat grup keluarga inti, melainkan japri alias chat pribadi.

Ibu: Aku sama Bapakmu ke Malang hari ini, skrg lg di ndek tol Lawang.

Ibu: Sesuk kami onok acara jalan-jalan kantor.

Ibu: Ibu mau ketemu pacarmu pokoke, usahakan hari ini. Ga onok tapi tapi.

Ibu: Blg ae makan siang biasa, ojok catut jenengku.

Ibu: Makasih, Le

Saya jawab iya ketika sudah di masjid dan sudah duduk. Soalnya kalau sudah masuk ke khotbah usahakan harus konsentrasi. Padahal saya masih mengintip beberapa dari mereka malah main ponsel dan ketiduran. Mungkin efek penceramahnya yang kurang banyak improvisasi dan terkesan penghafal.

Ponsel Vita untungnya aktif, jadi saya bisa telepon dia. Nah, ketika telepon saya sengaja memintanya untuk berpakaian rapi biar tidak banyak tanya. Untungnya Vita tidak banyak protes, dan ini juga kesempatan bagus mengingat habis salat jumat semua pegawai pada pergi entah kemana dan baru absen lagi sekitar jam pulang kerja. Kali ini saya pakai kendaraan daring karena jam segini macet dimana-mana.

Pokoknya Malang mulai akhir pekan jangan berharap lenggang, ada untungnya juga mobil saya lagi di bengkel.

***

Begitu sampai, ternyata pelayan sudah menunjukkan reservasi untuk empat orang. Ayah dan Ibu ternyata cepat sekali, mereka berdua ambil di lesehan yang letaknya di ruang utama tepat sebelah wastafel. Suara aliran air dan ciprat-ciprat dari ikan koi menambah keasrian sekaligus nuansa desa dari restoran ini. Jujur, saya dan Vita pernah makan di sini sekali gara-gara promo libur nasional. Emang rasa makanannya tidak pernah mengecewakan, Ayah sama Ibu selalu suka sama kualitas ayamnya yang dibumbui dengan baik dan marinasinya lama. Restoran ini juga langganan keluarga kami – Ayah dan Ibu terutama – setiap mengajak koleganya setiap ke Malang atau makan berdua sama Ibu.

Dua sosok yang kunantikan sudah tiba, Ibu mengenakan kemeja motif bunga warna pastel dengan celana kain warna coklat terang. Suara kerincing dari tasnya berbunyi ketika saya bersalaman dan cium pipi, tak lupa dengan Ayah yang pakai kemeja kotak-kotak warna terang dengan celana warna hitam.

Saya mencatat pesanan ayam goreng satu ekor dengan nasi bakul empat porsi, Ayah dan Ibu minta tambahan gurami goreng berdiri, cah kangkung, sayur asem, tempe dan tahu penyet. Mereka berdua selalu pesan es dawet banyumas sedangkan aku lebih suka teh tawar.

"Duh aku ora sabar (nggak sabar) ketemu gendaanmu, Le." Ibu masih betah tersenyum sambil menggosokkan tangan.

"Le, lapo gak mbok kei iku (kenapa nggak kamu kasih itu) kertas pesanannya?" tanya Ayah yang terkesan mengalihkan keantusiasannya.

Slowly Falling [TAMAT DI KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang