BAB 1

311 28 45
                                    

VITA

Bunyi notifikasi ponselku berbunyi, menghentikan aktivitas rekaman memotong bawang bombay. Biasanya aku biarin karena pasti dari notifikasi grup komunitas ASMR, atau Mama yang lagi rajin kirim foto makanan setiap ketemu restoran baru. Namun, yang bikin berhenti adalah suara gitar elektrik yang menandakan itu pesan chat dari Rinto.

Buru-buru aku taruh pisau di atas piring kotor, cuci tangan, lalu buka ponsel. Senyumku langsung sirna begitu tahu isi pesannya.

"The Wedding of Rinto & Syahira. Wedding ceremony will be on Saturday, February 25th at 08:00 A.M at Vella Ballroom of Rama Shinta Hotel, Malang. The Wedding Party also will be on Saturday, February 25th at 11:00 A.M ...."

Kugenggam ponselku erat-erat, pipiku rasanya panas dengan detak jantung yang terasa cepat. Tidak mungkin, tidak mungkin. Masa Rinto mau menikah? Tidak, Vita, itu pasti Rinto yang di semesta lain atau kebetulan Rinto salah kirim. Rinto ini orangnya kalau namanya janji pasti akan ditepati, dia selalu membuktikannya. Tidak mungkin dia mengingkari janji kita waktu berpisah satu tahun lalu.

Aku langsung menelpon Rinto, tidak ada jawaban.

Panggilan kedua, tidak ada jawaban juga.

Panggilan ketiga, aku sampai mondar-mandir antara dapur sambil pindahin tripod, ring light, kamera mirrorless, mic ke ruang makan, dan masih tidak ada jawaban.

Panggilan keempat, aku berkacak pinggang. Duh ini orang kemana sih? Heh, Rinto kampret, jawab woy.

Panggilan kelima ...

"Jancok ancene kon (bedebah memang kamu), Rinto," umpatku pada ponsel dengan layar peringatan tidak ada jawaban sama sekali. "Kon iku laki apa dudu, seh? Wong kok pengecut ngene. Aku mek jaluk penjelasan, lapo telponku gak bok jawab (Kamu itu laki apa bukan, sih? Orang kok pengecut gini. Aku hanya minta penjelasan, kenapa nggak jawab teleponku)?" Aku berteriak dengan jambakan rambut.

Teriakanku bertambah kencang. Bedanya aku duduk di sofa dengan kedua kaki menyatu dengan badan lalu kutundukkan kepala. Teriakanku tidak boleh terdengar siapa pun, aku nggak mau didatangi tetangga lalu disangka orang gila.

Kuraih ponselku yang ternyata mendarat dengan selamat di sofa, sambil menelepon Rinto lagi. Bagaimanapun, aku butuh penjelasan atas semua ini. Sebelum hubungan kami berakhir satu tahun lalu dengan alasan tidak sanggup hubungan jarak jauh, Rinto berjanji padaku bahwa kita akan kembali bersama ketika sudah sama-sama sukses. Aku menyetujuinya karena dia selalu membuktikan semua omongannya. Buktinya dia selalu mendapat prestasi terbaik selama pelatihan calon analis perkara pengadilan.

"Tora, Sayang, Tora. Jangan tinggalkan aku. TORA, TORA, TORA ...."

Kepalaku terangkat.

"Tora, Sayang. Aku mohon kita pacaran lagi, ya. Aku janji aku bakal berubah, kamu bisa pegang omonganku."

Baru berdiri dan berjalan lima langkah menuju dapur mendadak berhenti terdengar suara pagar yang digoyang-goyangkan.

"TORA ...."

Kayaknya dia yang pelaku goyang pagar tadi.

"TORA, KENAPA KAMU BEGINI SIH, SAYANG? TORA."

Sialan suara lengkingannya bikin telinga sakit, dan kekesalanku meningkat. Duh bisa nggak sih itu lengkingannya diturunin?

Sapu mana sapu?

Ya ampun aku lupa beli sapu lidi ala nenek sihir sampai sekarang. Vita ... Vita, gini ini efek umur. Adanya kemoceng aja jadi kupegang.

Buru-buru aku buka pintu, dan menoleh ke tetangga sebelah kanan rumahku. Antara rumah satu dengan rumah lainnya hanya dikasih sekat sampai setengah dinding tanpa pagar tambahan. Jadi, sebelah rumah masih bisa lihat apa yang terjadi pada tetangga mereka.

Slowly Falling [TAMAT DI KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang