BAB 34

17 5 0
                                    

TORA

Pemandangan mengerikan itu kembali lagi.

Bedanya adalah Talitha tidak menggoyangkan pagar seperti biasa, melainkan hanya berdiri seperti patung dengan lipatan tangan di dada. Wajah yang biasanya dikasih riasan pun hari ini tidak ada, makin menunjukkan betapa pucat wajahnya. Ekspresi cerianya yang mengerikan berganti dengan wajah datar yang saya yakin menyimpan kedengkian.

"Apa kamu mau bayar utangmu sekarang?" Saya bertanya.

Talitha mendengkus. "Sebenarnya iya, tapi ada hal lain yang mau aku omongin ke kamu."

Saya sengaja tidak membukakan pintu karena Tetangga sekitar pada melihat ke kami berdua dengan mata tajam. Sepertinya mereka sudah siap-siap mau lapor Pak RT atau lapor polisi. Sial saya lupa bawa ponsel, padahal mau mengabarkan Vita sekaligus minta tolong ke dia.

"Apa sih yang kamu lihat dari cewek miskin itu?"

Saya membetulkan letak kacamata, mengingat semua momen bersama Vita sampai kendaraan daring kemarin, momen terbaik saya adalah begitu hubungan (palsu) kami berdua direstui oleh Ayah dan Ibu. "Vita ya tetaplah Vita, dia berani menjadi dirinya sendiri. Kemudian saya ... memang sayang sama dia dan berusaha selalu ada untuknya tanpa pamrih. Poin terpenting adalah saya tidak perlu berjuang lama-lama karena hubungan kami berdua sudah disetujui orang tua masing-masing."

Talitha melempar ekspresi jijik. "Itu kon ae yang nggak bisa memperjuangkan hubungan kita ket biyen (dari dulu)."

"Percayalah, saya sudah berusaha untuk bikin kamu terkesan di depan Ayah dan Ibu. Namun, yang saya dapatkan adalah Ibu yang selalu menasihatiku untuk segera menjauhimu dengan cara halus. Ternyata Tuhan yang langsung turun tangan memperingatkan saya betapa jahatnya kamu sama orang-orang Eatsome dan lainnya serta kamu yang ngutang terus ke Saya di mana kamu menyalahgunakan uang tersebut."

Jawaban saya bikin ekspresi jijik Talitha punah tak bersisa. "Pokoke aku nggak akan pernah ikhlas kamu sama perempuan lain, terutama Vita si miskin itu." Dia melangkah dengan memegangi pagar, tak lupa dengan senyum miring yang menakutkan. "Aku yakin, kamu akan kembali padaku, cepat atau lambat."

Saya tertawa kecil akan halusinasi Talitha. "Terserah kamu saja. Apa sekarang kamu mau melunasi utangmu bulan ini?"

Tidak menunggu jawaban Talitha, saya langsung membuka pintu pagar dengan kunci cepat lalu keluar – ketukan kaki pertanda Talitha ikut keluar. Hal ini sengaja saya lakukan agar disaksikan oleh beberapa tetangga yang lewat sehingga Talitha tidak akan menimbulkan kehebohan lagi. Perempuan itu mengeluarkan banyak uang dari tas kainnya, sampai-sampai wajah saya hampir tenggelam oleh banyaknya uang. Saya tidak mendeskripsikannya, ini seperti bukan Talitha yang biasanya.

"Itu totalnya dua puluh juta, lebih banyak dari kemarin."

Omongan Vita waktu di Alun-Alun Batu soal keanehan uang Talitha terngiang di otak saya, sukses menghalau rasa lega saya. Saya kembali ke dalam untuk menaruh uang-uang tersebut di tas kain dekat brankas lalu keluar sambil bawa ponsel untuk mengirim pesan ke Vita yang responnya tidak secepat biasanya.

"Darimana kamu dapat uang segini, Tal? Tumben sekali, soalnya ini bukan kebiasaanmu," kata saya curiga.

"Kon iku nek dadi lanang gak bersyukur ancen, bayar utang salah gak bayar utang luweh salah, Cok (Kamu itu jadi laki nggak bersyukur memang, bayar utang salah nggak bayar utang lebih salah, Bedebah)," balas Talitha ketus bercampur frustrasi. "Harus opo meneh carane ben isok balikan ambek awakmu (apa lagi caranya biar bisa balikan sama kamu)?"

"Saya hanya bertanya kok, malah marah." Saya mengedikkan bahu.

Talitha menghela napas dengan tangan yang dibikin ala-ala meditasi yang sering saya lihat di youtube. "Aku itu cari duit, Tora Sayang. Terus sering tuh dapat banyak tips dari banyak orang di hotel tempatku kerja sekarang. Ya sudah sebagian buat bayar utangmu dan sebagian aku tabung. Mumpung bisa, kenapa enggak? Masa gini aja kamu nggak percaya sama sekali, sih."

Slowly Falling [TAMAT DI KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang