BAB 40

22 1 0
                                    

TORA

Selama saya bekerja di instansi plat merah, baru kali ini saya bisa ambil cuti banyak. Namun, kata pak ketua ketika masa cuti habis harus langsung kembali bekerja. Ya, mau gimana lagi, namanya juga instansi plat merah.

Niat saya cuti adalah menenangkan diri sekaligus mempersiapkan diri jaga-jaga untuk sidang disiplin. Semua berawal dari kasus video mesumku dengan Vita di situ, benar kata Vita wajahku nggak kelihatan di situ hanya punggung, tapi yang kenal saya pasti tahu ciri-ciri fisik itu cenderung ke saya. Respon mereka beragam, ada yang bilang keenakan banget, ada yang mendukungku juga dan percaya bahwa di video itu hanya orang yang mirip saya.

Semua rencana tersebut berantakan karena Talitha kembali berulah, kali ini lebih parah. Berawal dari somasi terkait modal bisnis bikin restoran bersama kemarin, penambahannya adalah bahwa sudah ada tahapan untuk sewa ruko, tapi saya tidak kunjung memberikan ruko tersebut dan sudah ada perjanjian sewa menyewa dan sudah membayar lima puluh juta rupiah. Saya menjawab somasi tersebut dan bilang bahwa tidak terjadi apa-apa, tapi Talitha tetap ngeyel sehingga mau nggak mau saya dan Ibu mengikuti prosedur dan sekarang nunggu surat panggilan sidang mediasi.

Sekarang kami berdua sudah ada di rumah Ayah dan Ibu yang di Malang – tepatnya di perumahan Istana Dieng – untuk periksa ulang semuanya di tahap awal. Tentu saja saya memberitahu Vita terkait kasus ini, dia juga kaget tapi tidak bisa berbuat apa-apa dan hanya bilang bahwa akan bersedia jika dipanggil lagi sebagai saksi. Saya tidak berbicara hal-hal lain karena paham betapa pusingnya Vita.

"Haduh, Le. Kon iki (Nak. Kamu ini) nggak ngene aku tahu." Ibu menghela napas, sepertinya masih kaget.

Kuputar semua memoriku bersama Talitha terkait dengan Eatsome beberapa tahun lalu, disebutkan bahwa waktu kami sedang dalam proses cari-cari ruko. Dari tiga tempat, Talitha memilih ruko daerah Suhat, tapi di surat gugatan ini bilang ruko yang dimaksud adalah daerah Cengger Dalam. Ruko ini memang sempat jadi pertimbangan lokasi Eatsome beberapa tahun lalu, tapi tidak jadi karena tempatnya kecil.

Astaga, Talitha, ternyata dia mau mencemarkan nama baikku lewat ini. Benar-benar biadab sekali perempuan ular ini.

"Terus ini dari surat perjanjiannya terlihat lengkap dari nomornya, waktu Ibu cek ke Notaris bersangkutan ternyata ada," tambah Ibu lagi. "Pengacaranya Talitha terus menelepon Ibu dan menuntut hal yang sama sampai diteror, ya sudah Ibu hanya bilang bahwa pasti aku sama kamu datang ke sidang mediasi. Kok ya nggak sabar?"

"Bu," ujarku, "Ini semua palsu, saya tidak pernah bikin perjanjian jual beli di daerah Cengger Ayam Dalam. Surat perjanjiannya juga palsu, aku yakin sekali ini."

Ibu tersenyum seakan memujiku. "Iyo, Le, Ibu percaya kok. Duh, ancene Ibu ambek Ayah gak salah didik awakmu karo Mas Pratama. Sekarang kita cari bukti tersebut, menurut Ibu kalau bukti kita kuat bisa-bisa gugatannya ditolak. Begitu kita sudah membuktikannya sampai sidang putusan, langsung kita laporkan balik ke polisi dengan pasal penipuan dan pemalsuan surat dengan sengaja."

Selama rentang satu minggu itu (di sela-sela kerja waktu cuti saya sudah habis), saya sama Ibu cari bukti-bukti menguatkan bahwa Talitha berbohong. Malah Ibu menyarankan pakai tambahan strategi kejujuran bahwa Talitha berutang sama kamu dan sampai sekarang belum dibayar lunas. Perkembangannya lumayan cepat, Ibu sudah menemukan bukti surat perjanjian salinan yang jadi tempatnya Eatsome dulu di ruko Soekarno Hatta lewat notaris. Berkat Ibu juga, negosiasi sama saksi orang sudah di tangan lebih dulu sebelum pengacara pihak penggugat.

"Le, inget nek sing (kalau yang) Ibu lakokno iki (lakukan ini) persiapan nek misale (kalau misalnya) mediasi gagal," ujar Ibu di hari Jumat, kami berkumpul kembali di rumah Ayah dan Ibu di Malang.

Slowly Falling [TAMAT DI KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang