BAB 38

24 2 0
                                    

TORA

Akhirnya saya bisa keluar dari ruangan interogasi ini.

Baik, akan saya ceritakan sedikit selama di kantor polisi.

Ruangan interogasi di dunia nyata sama dunia film atau serial itu tidak jauh beda, hanya saja di dunia nyata gelapnya nggak begitu seram karena jendelanya masih agak lebar sedikit. Di situ hanya ada dua kursi kayu – ada satu kursi lagi di pojokan – yang dihalangi meja dan ada laptop di situ. Kalau soal jendela berkaca tebal yang biasanya ada di sisi kiri saya itu ada, tapi menurutku itu hanya diisi pengendali kamera pengawas – ini hanya asumsi saya saja. Kemudian si Bapak yang pakai jaket hitam itu yang jadi interogator, saya pikir bakal seram tapi tidak terlalu galak. Hanya saja suaranya tegas dan berat.

Ngomong-ngomong status saya di sini adalah saksi, baru ketika apa yang saya jawab ternyata sesuai bukti yang dilaporkan Talitha maka bakal naik jadi tersangka.
Semoga saja tidak jadi tersangka.

Jujur perasaan saya was-was ketika si Bapak polisi berjaket hitam itu menunjukkan bukti-bukti. Ternyata ini adalah foto dari jauh di pertemuanku bayar utang sama Talitha, berikutnya dia menunjukkan chat palsu soal menawarkan modal bisnis sampingan, terakhir yang paling parah adalah bukti rekening koran palsu di mana transfer senilai lima puluh juta dari rekening Talitha ke saya.

Pantas saja dia tidak mau ditransfer lewat m-banking.

“Apa benar bahwa saudara Tora berniat untuk menipu saudari Talitha dengan kedok bisnis?”

Saya menggeleng tegas, lalu menunjuk foto. “Tidak Betul, saya bertemu Talitha di tempat yang foto ini, tetapi Talitha melunasi utang kepada saya sebesar lima puluh juta. Untuk rekening koran saya bisa membuktikannya melalui ini.” Saya menunjukkan mutasi rekening lewat m-banking terkait jumlah utang yang dibayarkan Talitha yang sudah saya setor ke bank pada Bapak polisi.

Ekspresi si Bapak polisi semakin tidak terbaca.

“Saya juga ada saksi biar menambah alibi, namanya Vita. Namun, dia sedang perjalanan ke sini. Serta saya tambahkan isi chat di mana Talitha ajak ketemu.” Tiba-tiba teringat Vita yang menemani saya waktu sesi kedua pelunasan utang Talitha di toko roti, lalu beliau mengangguk ketika menunjukkan chat ketemuan dengan Talitha di situ.

Wajah polisi itu tampak tertarik. “Baik, kalau begitu saya menunggu saksi yang Anda bawa.”

Sekitar hampir setengah jam, saya melihat keberadaan Vita dan Lila dari luar ruang interogasi yang terbuka sedikit. Namun, yang masuk ternyata Ibu yang sepertinya mati-matian menahan panik. Ibu memperkenalkan diri pada si polisi itu dan berusaha professional ketika polisi menjelaskan duduk perkara setelah menunjukkan surat kuasa – yang mana saya bubuhkan tandatangan dengan cepat. Ketika si polisi tersebut bertanya kenapa baru tandatangan, Ibu menjawab bahwa terlalu mendadak jadi baru sempat tandatangan. Sebenarnya bisa saja saya kirim tanda tangan elektronik, tapi Ibu nggak mau soalnya tanda tangan langsung lebih otentik.

Maafkan saya, Bu, sudah membuat Ibu repot begini sampai rela berangkat dari Surabaya ke Malang.

Inilah isi pesan saya ke Ibu, saya minta beliau untuk mewakilkan saya selama proses di polisi.

Salah satu polisi membuka pintu ruang interogasi, menampilkan Vita yang terlihat percaya diri. Saya berasumsi bahwa dia sudah dikasih briefing sama Ibu sebelum masuk. Vita memberikan kartu identitas pada pak polisi, kemudian menanyakan persiapan Vita dalam menghadapi pernyataan. Polisi tersebut memerintahkan Ibu dan saya untuk keluar dari ruangan interogasi dulu, ketika Ibu bertanya mengapa tidak pakai ruangan lain polisi itu menjawab bahwa ruangan sebelah sedang dipakai.

Genggaman tangan kami perlahan terlepas sebelum Saya menjauh.

Saya dan Ibu duduk di kursi panjang, dan saya terus berdoa bahwa Vita bisa memberikan kesaksian sejujur-jujurnya.

Slowly Falling [TAMAT DI KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang