BAB 26

41 10 21
                                    

TORA

Saya tahu Vita kaget dengan aksi impulsif ini, saya tidak peduli akan reaksinya bagaimana. Kalau dicubit lagi, saya rela. Saya tahu ini kesalahan besar, mencium bibir seseorang tanpa izin yang bersangkutan itu melanggar consent. Namun, apa yang ada di otak saya adalah ingin menciumnya. Ini permintaan tubuh saya, bahkan kemarin saya bermimpi bersanggama dengan Vita di tempat tidur rumah saya sampai alarm ponsel saya bunyi. Maka dari itu saya berusaha menghindari Vita agar pikiran kotor itu tidak selalu muncul.

Dalam lima detik tidak ada cubitan atau pukulan.

Malahan yang ada Vita mempererat lingkarannya di pinggang saya, membalas ciuman saya bahkan bikin saya buka mulut dan bermain lidah di langit-langit mulut saya. Tangan saya menelusuri punggung dan kepalanya supaya keseimbangannya terjaga. Ciuman Vita terasa manis dan memabukkan, saya tidak ingin berhenti. Suara kecupan mengisi keheningan serambi rumah Vita.

Bibir Vita terus mendominasi sehingga seluruh tubuh saya bergetar, tangan saya meraba sesuatu di rambut Vita sehingga menimbulkan bunyi di lantai. Namun, saya tidak peduli, pergerakan lidah kami semakin dalam. Tangan Vita bergerak ke punggung saya, dan tangan saya menelusuri paha lalu mengangkatnya sampai pinggang saya. Langkah yang tidak saya antisipasi adalah saya sudah menopang Vita, kedua kakinya sudah melingkari pinggang saya.

Ciuman saya menelusuri bibir, pipi, lehernya – di mana desahan Vita makin menaikkan gairah saya lagi – apalagi embusan napasnya tepat berada di leher saya. Tubuh Vita tidak terlalu berat, dan bagian bawah kami tidak sengaja bergesekan.

Terdengar suara debuman, dan wajah kami refleks menjauh.

"Astaga, Vita." Saya panik ketika satu tangan Vita memegang kepala dan wajahnya merintih sementara tangan kirinya bertumpu di bahu saya. Saya mencari-cari bagian yang sakit. "Endi sing loro (Mana yang sakit)? Kasih tahu aku."

Vita malah tertawa, tapi saya tetap tidak yakin. "Ada, sedikit. Kon tenang ae, nggak di kepala kok."

Syukurlah kalau begitu, pelan-pelan saya turunkan Vita dari gendongan. Ada rasa hampa begitu kaki Vita meninggalkan tubuh saya, tapi itu tidak penting karena saya harus mengobati Vita.

Vita menggerakkan sedikit punggungnya, dari rintihannya yang kecil sepertinya dia baik-baik saja. "Kayaknya sih nggak sampai keseleo banget, nggak apa sih."

Saya mengekori langkah Vita ke dalam rumah, dan dia bersandar di sofa ruang tamu sambil menggeser laptopnya. Saya juga ikut duduk di sampingnya, dan kali ini agak jauh. Sengaja biar gairah sialan itu tidak banyak muncul, padahal hari ini Vita pakai daster lengan panjang selutut warna hitam.

"Sayang, ngapain jauh-jauhan gitu sih? Masa aku dianggap virus?" Vita terlihat kecewa dengan sikapku yang begini, tapi omongannya dibungkus candaan.

Perlahan saya mendekat, mungkin Vita nggak sabaran jadinya dia menarik lenganku lebih dulu kemudian kepalanya bersandar di bahuku. Tangannya mengapit lenganku lalu berkata. "Kamu itu jangan khawatir, Sayang. Aku temenan ora popo (beneran nggak apa-apa), nih lihat saja ekspresiku, palingan sakit sedikit."

"Tapi ...." Saya masih ingat kata-kata Lila bahwa Vita pintar sekali menyembunyikan sakitnya dengan canda tawa, jadi saya harus memastikan bahwa dia memang benar-benar tidak sakit.

Telunjuk Vita mampir di bibirku. "Ini beneran nggak sakit, kok, Sayang. Seriusan. Aku kalau sakit pasti bilang ke kamu kok."

"Benar?"

Vita mengangguk sambil menangkup pipiku dengan satu tangan. "Ih pacar pura-puraku kenapa gemesin gini sih."

Dia bangkit untuk pergi ke dapur, walau saya mengagguk tapi kepala saya celingak-celinguk. Dari gerakan tubuh Vita yang ambil sesuatu bahwa memang tidak ada sakit sama sekali. Vita kembali dengan dua gelas air mineral dengan asap mengepul. Dia bergerak lagi ke pintu untuk membukanya dengan lebar dengan menyalakan lampu ruang tamu.

Slowly Falling [TAMAT DI KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang