VITA
"Sek sek (tunggu tunggu)." Aku mengangkat tangan. Ini gara-gara ada sesuatu di otakku yang datang tak dijemput pulang tak diantar.
"Sek sek piye (Tunggu tunggu gimana) maksudmu?" Tora yang tadi sudah berdiri kembali duduk dan tidak jadi buang sampah kotak donat.
Mataku memicing sambil mengibaskan rambut. Suara bising anak kecil di sekitarku bikin tubuhku mendekat ke Tora lalu menempelkan wajahku ke telinganya. "Kon nyadar (kamu sadar) nggak seh ada yang aneh ambek (sama) mantan gendaanmu (pacarmu) iku? Moso deke isok (masa dia bisa) bayar secepat itu?"
Tora menggeleng polos. "Enggak seh, menurutku selama Talitha mau bayar utangnya bagiku nggak masalah sama sekali."
Duh Tora kalau polosnya kumat pengen rasanya kugeremin kayak mengulen adonan kue aja jadinya. "Dudu iku (Bukan itu) maksudku, Sayangku sing ganteng tapi kalau lemotnya kumat pengen tak hih," rengekku dengan tangan membentuk cakar tepat di mukanya. "Karepku kok isok ngono (Maksudku kok bisa gitu) lho cicilan pertama langsung limolas yuto (lima belas juta) kontan. Biasane masio (biasanya meskipun) bayar ngono yo (gitu ya) paling minim papat yuto durung (empat juta belum) termasuk bunga."
"Setidaknya dia mau bayar lah masio cicil, mungkin sengaja agak banyakan biar cepat selesai." Pacar palsuku sungguhlah sangat berpikir positif.
"Tapi tetap aneh menurutku." Aku masih nggak percaya. "Apa jangan-jangan dia berutang lagi ke orang lain untuk bayar utangmu kayak skema ponzi itu?"
"Kamu ini gak usah mikir sing aneh-aneh, sesuka dia lah." Tora berdiri lagi. "Wes ayo dalan maneh (Sudah ayo jalan lagi)."
"Yuks." Aku ikut berdiri, melambaikan tangan seperti orang bencong. Tanganku melingkar di lengan Tora sambil menyandarkan kepalaku di situ. Walau lengannya tidak sekekar binaragawan, tapi nyaman banget,
Semakin malam Alun-alun Batu semakin ramai. Kami saling berfoto gantian di berbagai sudut, kayak air mancur datar di mana kami bisa main pegang-pegangan air mancur yang tiba-tiba muncul ke atas – tentu saja celana sampai kunaikkan sampai betis biar nggak basah – dan sepertinya Tora lihai sekali ambil momen saat telapak tanganku menyentuh cipratan air.
Berikutnya kami bergantian foto di antara lampion dan air mancur ukuran kecil. Cahaya lampion yang kecil ditambah jalan setapak yang pavingnya model batu bikin kami berhati-hati untuk melangkah. Akibat tidak membawa tripod portable andalanku, untuk foto berdua kami meminta orang asing yang lewat. Duh, mana mereka baik semua sampai kadang orang itu yang minta ulang bila dirasa hasil foto belum halus. Tidak lupa kami juga berfoto sama badut robot transformers sama patung sapi yang letaknya di paling depan Alun-alun.
Bagian paling epik dan menandakan bahwa belum main ke Alun-alun Batu adalah naik bianglala. Terdapat antrian agak panjang, dan hari ini keberuntunganku karena mesinnya jalan.
Tora menggeleng kuat-kuat.
Mulut mendadak mangap. "Kon wedhi (kamu takut) ketinggian?"
Tora mengangguk takut-takut.
Refleks tawaku meledak keras, dan kayaknya bikin orang sekitar pada kaget. Salah banget emang berdiri di tengah-tengah air mancur besar logo tiga apel itu. "Kok isok iku (Kok bisa gitu) lho? Tor, iki gak koyok (ini nggak kayak) roller coaster he." Aku memukul pelan bahu pacar palsuku ini dengan sisa tawaku. "Malahan iki (malah ini) tenang, dan awakmu isok ndelok (kamu bisa lihat) pemandangan lampu-lampu Batu ambek (sama) Malang."
Masih dengan Tora yang menatap ngeri bianglala, bahkan dia bergeming ketika kutarik tangannya. "Podo ae, gak seneng (Sama saja, nggak suka) aku. Bawaane koyok (Rasanya kayak) mau jatuh. Emoh, pokoke moh (Nggak, pokoknya nggak mau) aku. Engkok nek moro-moro (Nanti kalau tiba-tiba) berhenti di atas piye (gimana)?"
KAMU SEDANG MEMBACA
Slowly Falling [TAMAT DI KARYAKARSA]
Romance[LOVE UNIVERSE #4] [TAMAT DI KARYAKARSA] Tidak terima dengan Rinto yang bahagia atas pernikahannya, Vita mengajak Tora untuk pura-pura jadi pacarnya sebagai pembuktian bahwa dia sudah move on. Tora juga setuju karena biar Talitha tidak memaksanya b...