BAB 44

22 3 0
                                    

TORA

Setiap sidang yang melibatkan saya membolehkan untuk izin. Namun, hanya selama sidang itu saja, jika tidak tetap saja kembali bekerja.

Ruangan sama dengan suasana berbeda.

Ruangan yang selalu jadi langgananku setiap sidang, di mana letaknya di sayap kanan kantor, dari lobi melewati meja pengaduan langsung belok kanan. Kemudian melewati ruangan kerjaku lalu belok kiri. Ruangan ber ac itu didominasi oleh kayu yang menutupi setengah dinding. Bangku penonton juga sedikit, karena ruangannya tidak besar dan tentu saja ada sekat pemisah. Beberapa orang sudah memasuki ruangan – dari perwakilan ruanganku hanya Nugi dan si Ibu Senior yang katanya pekerjaannya sudah beres – disusul oleh panitera pengganti yang ditunjuk oleh panitera sekretaris yang mana orang itu menempati tempatku. Selanjutnya Panitera Pengganti mengumumkan untuk harap tenang, karena tiga Majelis Hakim bertoga merah dan hitam sudah masuk lalu menempati tempat duduk.

Rasanya aneh ketika saya yang biasanya duduk di samping meja majelis hakim sekarang jadi di depan bersama Ibu dengan satu mic kecil yang bisa naik turun. Di seberang kami berdua terdapat Talitha dan kuasa hukumnya, senyum Talitha terkuak tapi ada sedikit keraguan. Asumsi saya sih, mungkin dia kaget karena yang jadi kuasa hukum pihak saya adalah Ibu. Secepat kilat ekspresinya berubah jadi percaya diri lagi, samar-samar saya mendengar decakan kecil Ibu.

Pak Lubis melirikku sejenak lalu membuka sidang dengan ketok palu dua kali, kemudian menanyakan kabar dan kesanggupan kedua belah pihak dalam menjalankan sidang. Beliau kemudian menyampaikan ringkasan sidang mediasi minggu lalu yang mana tidak mencapai kesepakatan.

"Baik, sidang akan dilanjutkan dengan agenda pembacaan surat gugatan dari pihak penggugat. Mari silakan dibacakan," ujar Pak Lubis dengan suara wibawa seraya mata beliau melirik layar di mana biasanya menunjukkan salinan surat gugatan.

Pengacara itu menyalakan mic duduk lalu membacakan surat gugatan dengan saksama. Ketika sudah masuk posita alias kronologi kasus, memang seperti yang dibilang dalam diskusi sama Ibu beberapa hari yang lalu, banyak kejanggalan. Tidak ada perjanjian sewa menyewa dengan ruko di Cengger Ayam Dalam, yang ada hanya perjanjian sewa menyewa di daerah Suhat untuk Eatsome beberapa tahun lalu karena saya yang jadi saksi Talitha menandatangani perjanjian tersebut beberapa tahun lalu.

Kemudian menuju ke petitum alias tuntutan dari penggugat adalah mengembalikan uang tiga puluh juta ke pihak penggugat sebagai bayar ganti rugi, kedua adalah membatalkan kontrak dari penyewa di daerah Cengger Ayam Dalam, terakhir adalah putusan seadil-adilnya. Sebisa mungkin saya mati-matian menahan tawa, Talitha benar-benar membuat perangkapnya sendiri.

"Benar dugaan kita, Ma. Dari surat gugatannya aja sudah nggak ada yang beres," bisikku pada Ibu.

Tanpa menoleh ke saya, Ibu menjawab dengan desahan. "Pasti, tapi kita jangan terlalu senang dulu, Le. Ibu masih mau lihat jebakan apa lagi yang akan dikeluarkan sama mantanmu yang menyebalkan itu. Sepertinya jangan sekarang baca surat jawaban tergugat dulu, waktunya nggak cukup."

"Bagaimana pihak tergugat, apa sudah siap dengan jawabannya?" tanya Pak Lubis dengan lirikan datar pada kami, lirikan khas hakim untuk menjaga kenetralan.

Ibu menggeleng dengan anggun. "Masih belum siap, Yang Mulia."

"Kalau begitu ...." Pak Lubis menggantung kalimat untuk memberi perintah pada Panitera Pengganti untuk cek kalender. "Apa bisa hari Senin depan di jam yang sama?"

"Bisa, Yang Mulia."

Pak Lubis menutup sidang dengan ketuk palu dua kali, begitu beliau dan dua Majelis Hakim lain meninggalkan ruangan baru panitera pengganti, penggugat dan tergugat, serta penonton baru boleh ikut keluar. Sebelum Nugi keluar, dia kasih kepalan tangan dan senyum seakan bilang bahwa tadi berjalan lancar.

Slowly Falling [TAMAT DI KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang