BAB 18

44 9 27
                                    

TORA

Setelah mengisi absen pulang, ponselku berbunyi. Oh, ternyata dari Vita. "Halo, Yang. Ada ...."

"Kamu pulang sekarang, cepat, Yang." Suara Vita kelihatan bergetar dan mau teriak, dan ada sesenggukannya plus napas tak beraturan.

Buru-buru saya berlari ke parkiran dekat tiang bendera, bahkan Nugi dan Bu Raras – penggemarnya Vita – hanya saya kasih pamit singkat. Pikiran saya mulai kalut, dan bertambah parah ketika terjadi kemacetan panjang selepas jalan layang Arjosari. Maklum jam pulang kerja, tapi saya tetap berusaha memanuver setir untuk selip ke tempat kosong. Syukurlah mobil saya bukan mobil SUV besar macam Pajero, memang untuk Malang yang jalan rayanya tidak lebar memang cocoknya pakai mobil kecil atau maksimal kayak Ertiga.

Hampir setengah jam saya sudah mengarungi kemacetan pertigaan masjid Sabilillah lalu masuk ke area jalan Suhat. Menurut saya ini sih sudah termasuk cepat, dan akhirnya mobil saya berhenti tepat di belakang mobilnya Vita. Perumahan tempat saya dan Vita tinggal hanya jalan lurus melewati bundaran pesawat perang, dan posisi kompleks kami ada di belokan ketiga setelah ruko.

Dugaan saya benar, Rinto sama Vita masih berdiri di pagar. Saya rangkul pelan pinggang Vita, agak posesif. Sepertinya itu berhasil karena ekspresi tercengang Rinto kembali waktu di acara pelaminan. Tidak ada yang boleh menyakiti Vita, terutama orang brengsek depan saya ini.

Kurasakan kepala Vita bersandar di lengan saya, dan baru sadar dia memeluk kardus.

"Sayang, kamu baik-baik saja?" tanyaku cemas, ini beneran cemas karena energi Vita sepertinya dikuras habis.

"Vita, Vita." Rinto berdecak. "Wes tak kandani pirang kali (sudah berapa kali aku bilang), gak semua lanang iku (laki-laki) baik ambek awakmu (sama kamu). Mereka mek (cuma) memanfaatkanmu tok."

Baru saya mau balas, terdengar dengusan Vita. "Berarti kon ngakui dewe nek kon iku Jancok (sendiri kalau kamu itu Bedebah), ya? Wah ancene kon jilat idumu dewe, yek nggilani (memang jijik banget jilat ludah sendiri)."

Rinto bungkam, tidak akan ada yang berani membantah jika Vita sudah mengeluarkan emosinya dengan kata-kata. Saya saja kadang kena cubitannya beberapa kali, tapi saya bisa membedakan mana cubit karena marah beneran atau marah bercanda.

"Setidaknya aku wis (sudah) ngaku salah ambek awakmu (sama kamu), dan aku mundur."

Seandainya kitab undang-undang hukum pidana tidak melarang tentang penganiayaan, bogem saya sudah mendarat di wajahnya.

Dengusan Vita makin kencang, saya merasakan geraman halus. "Cok, nek kon ancene wes pengen putus (Bedebah, kalau kamu memang pengen putus). Setidake gak usah onok (ada) embel-embel janji. Aku sakno ambek (kasihan sama) Syahira, kok yo dapat bojo sing modelan ngene (dapat suami yang model begini)."

Wajah Rinto tampak mengerikan, dia berjalan maju sambil menunjuk telunjuk ke wajah Vita. "Kon ojok gowo-gowo (Kamu jangan bawa-bawa) Syahira dalam percakapan –"

"Jadi, Rinto, kamu ngapain di sini?" Saya memutuskan untuk ambil alih pembicaraan dengan jadi tameng Vita, daripada mereka jadi baku hantam dan melibatkan Pak RT lagi, mencegah lebih baik daripada mengobati.

"WAH," teriak Rinto sampai orang-orang yang lewat dengan sarung dan ruku untuk shalat maghrib jadi melotot padaku. Dengan isyarat mata saya meyakinkan mereka bahwa ini masalah kecil sehingga mereka pun pergi.

"Wah ...." lanjut Rinto masih dengan seringai cemoohan, matanya masih melirik Vita yang ujung kardus mengenai lenganku, sepertinya setengah badan Vita keluar dari tameng. "Penakmen (Enak banget), ya, Vit. Saiki onok gendaan anyar sing belani awakmu kapan ae, saiki sopo sing pengecut (Sekarang ada pacar baru yang belain kamu kapan saja, sekarang siapa yang pengecut)? Moso masalah ngene tok kudu onok wong liyo sek baru wani (Masa masalah gini aja harus ada orang lain dulu baru berani), hoalah (halah) Vit jarene (katanya) pemberani. Wani wani matamu taek, ta?"

Slowly Falling [TAMAT DI KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang