BAB 41

20 1 0
                                    

VITA

Sepulang dari warmindo langganan, aku memutuskan untuk pergi ke kosannya Lila. Dia sepertinya paham dengan muka melasku, aku melewatinya saat Lila membuka lebar kamar kosnya. Mataku dijernihkan oleh kamarnya yang beneran luas, kira-kira empat meter lebih sedikit. Ranjang Queen size dengan sprei dan bedcover motif lumba-lumba, ganti lagi dia. Bagian favoritku tentu saja ada kulkas dua pintu dengan freezer yang besar, lihat saja sendiri sudah nampung banyak makanan beku. Perubahan satunya lagi adalah Lila beli kompor listrik, tapi model yang bisa dibawa kemana-mana sih, dan ada meja riasnya lebih rapi dari sebelumnya. Tidak lupa dengan AC-nya bok, dingin banget.

"Opo maneh saiki (Apa lagi sekarang)?"

Suara Lila yang berada di belakangku seakan mengingatkanku untuk kembali ke realita. Begini ini sahabatku, dia tahu aja kalau aku lagi kena sindrom patah hati. Mulutku masih terkunci, hanya bisa rebahan dengan posisi miring. Masih kuingat wajah panik dan sedihnya Tora untuk kembali mempertimbangkan keputusanku.

Kepalaku menggeleng kuat-kuat, tidak tidak. Kamu sudah memilih, Vita, tidak boleh plin-plan.

Ini memang jalan yang terbaik, Vita.

Tidak ada yang patut disalahkan, semua sudah jadi keputusanmu yang sudah kamu pikirkan matang-matang. Siapa juga yang tidak suka ketika masa lalu masih jadi pengganjal hubungan?

Ya, tapi ini kan hubungan palsu sama aja bohong. Namun, kenapa harus ada perih dan sesak di hatiku? Seharusnya aku lega, lagipula perjanjian di antara aku dan Tora adalah boleh berhenti kapan saja tanpa ada yang tersakiti. Kenyataan memang selalu berlawanan dengan ekspektasi, bahkan pas bilang putus aja tadi sampai mulutku bergetar dan masih sempat-sempatnya menutupi tangis dengan pedasnya Samyang.

Memang benar aku jadi bodoh bila dihadapkan dengan cinta. Benar kata Rinto, aku tidak bisa mengalahkan dia dalam hal ini. Aku yakin cowok bedebah itu sekarang lagi senang-senang atau bulan madu sama Syahira. Kubenamkan kepalaku ke bantal, menumpahkan segala teriakan dan makian bodoh pada diri sendiri.

Terdengar hentakan kaki Lila yang berlari, kurasakan ada kehangatan di lenganku. "Kon gak goblok (Kamu enggak bodoh), Beb. Kon iku berharga pol, kon mungkin ancene lagi apes tapi percoyo ambek aku bahwa masalahmu pasti selesai. Anggep ae Tuhan lagi sayang pol karo awakmu, sepurane yo mang (banget sama kamu, maaf ya kalau) aku gak peka."

Enggak Lila, kamu nggak salah. Aku yang salah, aku yang lagi-lagi terjebak dengan perasaan cinta yang memabukkan dan bikin gila ini. Namun, kalimat ini tidak mampu keluar dari bibirku akibat dikuasai makian. Lila masih bertahan untuk mengelus tanganku dan menggumamkan kata tenang.

"Nek kon pengen nangis, nangiso ae. Nangiso koyok pas ambek Rinto wingi (Kalau kamu mau nangis, ya nangis aja. Nangis aja kayak waktu sama Rinto kemarin."

Bagaimana aku bisa menangis? Energiku kali ini terkuras habis, badanku rasanya lelah tidak karuan seperti dihantam palu raksasa berkali-kali, responku hanya bisa ganti posisi dari duduk sila ke memeluk Lila dengan deheman besar akibat kebanyakan teriak. Kurasakan elusan halus khas Lila di punggungku yang terhalangi rambut megar ini.

"Yowes, nek kon durung mau crito saiki nggak opo (Ya sudah kalau kamu belum mau cerita sekarang nggak apa)," bisik Lila. "Nek awakmu siap cerita kudu bilang, yo. Pokoke ojok mbok ulangi maneh (Pokoknya jangan kamu ulangi lagi) ngomong hal negatif nang awak dewe (sama diri sendiri), aku wedhi nek iku (takut kalau itu) bakal dadi sugesti nang otak terus kegowo nang uripmu (terbawa ke hidupmu)."

Aku selamanya berterima kasih pada sahabatku ini, jadi sebagai respon hanya anggukan lemah yang bisa kuberikan.

Beberapa hari kemudian, hidupku benar-benar kosong dan tidak berguna seperti lubang hitam yang berani-beraninya menyedot semua kebahagiaanku.

Slowly Falling [TAMAT DI KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang