BAB 31

50 4 0
                                    

VITA

Masalah Talitha masih belum selesai, eh nambah lagi. Emang si masalah ini mati satu tumbuh seribu. Namanya juga hidup sih, ya, mana ada yang mulus kecuali sudah dapat ending alias dipanggil Tuhan. Hari ini senang-senang bisa jadi besok langsung ledakan dahsyat. Aku inget kemarin Lila sudah siap dengan air panas buat nyerang Talitha, tapi nggak jadi begitu manusia laknat itu pulang.

Ledakan dahsyat hari ini adalah Mama yang mengunggah potret kami bertiga di depan rumah lewat status WA terus dilanjutkan dengan notifikasi grup keluarga yang getar terus di meja makan. Pokok permasalahannya adalah keterangan di status Mama yang bilang Tora sebagai calon anak mantu, pantas saja isi chatnya pada tanya kapan dan model pestanya bagaimana? Alamak baru berita kayak gini aja langsung rame, biasanya isinya sebar berita bohong terus.

Cepat-cepat aku telepon Mama pakai panggilan video, untung langsung direspon.

"Halo, Ma," sapaku tanpa basa-basi. "Du lapo seh (Duh ngapain sih), Ma, sebar nang status WA soal aku ambek Tora? Hubungan kita durung enem wulan lho, aku isin iki (belum enam bulan lho, aku malu ini)."

Latar dapur dan bunyi letup presto adalah tanda Mama lagi mau siap-siap jam buka rumah makan. "Isin lapo seh, Ndhuk? Pede ae talah, iki koyok dudu awakmu ae (Malu kenapa sih, Nak? Pede aja lagi, ini kayak bukan kamu yang biasanya)."

"Gak ngono (Bukan begitu), Ma." Mendadak apa yang mau kusampaikan terlalu sulit untuk dikeluarkan. Namun, aku mencoba dengan kemampuan yang kubisa. "Justru nek hubunganku ambek Tora baik-baik iku yo nggak perlu akeh pamer, Ma. Mama juga gak izin aku ambek Tora gae unggah foto. Terus aku dewe yo durung onok (sendiri ya belum ada) rencana nikah sisan."

"Halah mbelkedes." Mama mengangkut panci presto untuk dipindahkan ke tempat lain lalu menyuruh karyawannya untuk mengurus sisanya. Kemudian menaruh ponselnya di meja kasir dengan penyangga. "Tora iku kurang opo seh, Ndhuk? Deke sayang ambek awakmu (itu kurang apa sih, Nak? Dia sayang sama kamu) terus hormat ambek Mama – iki dua minggu lalu mampir nang rumah makan karo koncone (sama temannya) – terus anake yo ga neko-neko (anaknya nggak aneh-aneh). Kon ngerti, kan (kamu paham, kan), aku ga gampang kasih restu ambek lanang sing cidek karo awakmu (yang dekat sama kamu)?"

Benar, Mama memang tidak mudah kasih restu ke setiap cowok yang hadir di hidupku. Mama memang baik sama semua orang, tapi bila menurut beliau si satu laki-laki ini memang pantas mendampingiku maka perlakuan beliau akan seperti ke Tora. Contohnya seperti melibatkan Tora dalam panggilan kami, terus suka lebihin jatah kiriman bebek goreng kremes, sampai suka nanyain keadaannya. Wajah Mama juga selalu bawa aura ceria setiap ada Tora di antara kami, dan aku sudah yakin pasti Mama bakal ngumbar ke tetangga.

Boro-boro dulu sama Rinto begini, aku sampai agak maksa Rinto untuk sering main ke rumah Mama. Ya, ternyata insting perempuan itu selalu tajam itu memang benar adanya, tidak memandang usia.

"Yo ngerti seh aku, Ma. Tapi ...." Aku setuju dengan ucapan Mama soal Tora adalah pria yang baik, tapi sebenarnya hubungan kami termasuk bohongan dan Tora belum mengungkapkan perasaan yang sebenarnya padaku. Aku juga tidak mau berharap banyak, dengan Rinto aku belajar banyak untuk melindungi hatiku dari luka lagi.

Duh, Ma, maafkan anakmu yang mulai suka bohong gini. Semoga pas ketahuan nanti aku tidak ditimpuk sutil buat masak bebek aja karena itu panas sekali.

"Tapi opo?" Mama ternyata menunggu jawabanku sambil melihat laptop yang kuyakin layarnya menunjukkan aplikasi kasir.

"Tapi ...." Duh Vit, ayo mikir alasan lagi yang logis. "Tapi pancet ae aku ambek Tora ga bakal nikah cepet. Aku sek belum mengenal Tora lebih dalam lagi."

Slowly Falling [TAMAT DI KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang