BAB 11

54 11 28
                                    

VITA

Siapa yang nggak deg-degan kalau perlakuan Tora semakin nggak biasa gini?

Salahmu juga, Vit, tadi main pegang pipi orang sembarangan. Kulirik dari bahu, Tora mengikuti langkahku ke dapur.

Iya sih, Tora akhir-akhir ini suka main ke rumah setiap dia pulang kerja dengan alasan bantuin beresin peralatan rekam sama minta kue kering, tapi jujur kalau dia sering ke sini tuh akunya yang nggak enak. Dia sih bilangnya nggak apa-apa, tapi nanti dia nggak punya waktu untuk dirinya sendiri. Satu sisi, aku merasa aman dengan kehadiran Tora.

Kenapa ini makin nggak berasa akting pacaran?

"Kon jarene (kamu katanya) pengen masak indomie versi warmindo." Aku mengacak lemari dapur bagian bawah dengan gerakan jongkok, tersisa tiga Indomie dengan rasa kari ayam, goreng jumbo, dan soto mie. Aku menoleh pada Tora yang ternyata ambil panci dan mengisinya dengan air matang dari teko.

"Oke indomie goreng jumbo berarti," gumamku pada diri sendiri, berdiri untuk mengambil daun bawang, sawi, empat cabe rawit, satu kaleng kornet, dan tiga telur omega – bukan endorse, beli nih di Indoapril pakai harga promo – lalu aku ambil panci ukuran kecil untuk rebus sawi. Kami bagi tugas, Tora bagian potong dan rebus sawi sementara aku potong cabe rawit, dan potong kornet.

Suara air mendidih yang perlahan berbuih ini enak banget didengernya, sayang aku tidak rekam kali ini. Ketambahan dengan suara pisau yang beradu dengan talenan, di mana Tora sedang memotong sawi setelah kuperintahkan untuk cuci terlebih dulu. Potongannya tidak konsisten, tapi kubiarkan saja soalnya pasti nanti juga layu.

"Sebentar." Tora menginterupsi. "Ini kenapa rebusan sawi dan mie-nya kamu pisah?"

"Biar nggak terkontaminasi sama air rebusan mie, Sayang." Aku mencelupkan mie jumbo lebih dulu karena airnya sudah mendidih lebih dulu. "Soalnya kalau terkontaminasi, nanti jadi kurang gurih rasanya. Tuh airnya sudah lumayan berbuih, masukin aja langsung."

Tora tidak banyak tanya lagi dan menuruti perintahku. Ketika mengaduk mie pakai sendok kayu ukuran sedang, mataku tertuju pada sawi yang direbus sama Tora. Dia kasih garam sedikit lalu apinya dia kecilin. Oh, tentu saja aku tidak lupa dengan mie tercinta, begitu mulai agak empuk langsung kutumpahin si telur omega. Air yang tadi berbuih sekarang hilang begitu, lalu perlahan naik lagi didihannya. Saat itu pelan-pelan kuaduk rata, sengaja pelan biar tidak merusak si poach egg.

Terdengar ketukan dari panci sebelah dan kompor yang dimatikan, ternyata Tora sudah selesai masak. Tidak lama juga punyaku jadi, dan tubuh kami saling bergeser untuk menguasai bak cuci piring, bahkan senggolnya pakai pinggang macam joget lagu dangdut. Tora mengalah lalu membiarkanku menyaring air sisa rebusan indomie dengan kran mengalir, hal ini ditujukan agar tidak merusak bahan stainless dan karet sekitar lubang bak. Dua telurnya aku taruh di piring bening terpisah saat mencampurnya dengan bumbu dan potongan cabe rawit. Masih dengan sisa panci Indomie yang airnya doang aku buang, aku tumis kornet pakai sedikit minyak biar tidak lengket, tidak lama pokoknya sampai berubah warna. Setelah matang baru kucampur dengan Indomie tadi.

"Wah enak iki." Lila yang keluar saat kami menata makanan di meja makan bundar ukuran sedang dengan tiga kursi mengitarinya. "Ambune penak teko (Baunya enak dari) kamarmu mau, Beb Vit."

Tatanan piring di meja makannya cantik sekali, mie jumbo bercampur dengan sawi di tengah dengan piring lebar, terus telurnya di pinggir kanan, terus Lila yang kali ini bawa boncabe level 15 ditaruh di samping toples bawang goreng.

"Ujung-ujungnya aku sing masak," ujarku senewen.

Tora hanya lempar senyum. "Aku mau masak mienya nggak dibolehin kamu, tadi, Yang. Ya sudah aku bikin sawinya aja."

Slowly Falling [TAMAT DI KARYAKARSA]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang